Wednesday, September 17, 2008

Mengembalikan Produk Unggulan Flobamorata

Oleh Herman Musakabe

DALAM perjalanan safari rohani awal Agustus 2008 lalu di daratan Flores, saya sempat mengamati kegiatan rakyat di tengah-tengah alam pedesaan. Saya dapat merasakan gerak kehidupan menggeliat di masyarakat pedesaan yang serba sederhana. Wajah-wajah polos rakyat yang berjuang untuk menopang perekonomian keluarganya sangat kontras dibandingkan hiruk pikuk berita di media massa tentang korupsi puluhan miliar rupiah dana BI yang melibatkan wakil rakyat di DPR. Bendera-bendera parpol yang berkibar di sepanjang jalan raya ingin merebut simpati rakyat menjelang Pemilu 2009, semuanya campur baur dengan poster-poster pilkada lokal yang sedang diselenggarakan di daerah. Padahal, bagi rakyat kecil, siapa pun yang dipilih secara demokratis menjadi presiden atau kepala daerah, tidak terlalu menjadi masalah, yang penting ia bisa membuat kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera.

Saya membayangkan NTT, atau Flobamorata, sebagai sebuah bahtera yang mengarungi Samudera Nusantara. Bahtera Flobamorata ini telah memilih nakhoda baru dalam pilkada langsung 2008 yaitu pasangan Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay, atau akrab disebut Fren, sebagai gubernur dan wakil gubernur. Kepada Fren inilah rakyat telah mempercayakan kemudi Bahtera Flobamorata untuk berlayar menuju hari esok yang lebih baik. Nakhoda Fren telah mencanangkan visi mereka sebagai navigasi ke arah mana bahtera akan dilayarkan dan misi yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi tersebut. Saya tahu bahwa tugas Nakhoda Fren cukup berat karena saya pun pernah diberi kepercayaan untuk menakhodai bahtera ini. Nakhoda Fren masih harus memilih para awak kapal yang jujur dan sanggup bekerja keras, menambal kebocoran di beberapa badan kapal dan mengawasi agar BBM kapal serta bekal logistik penumpang tidak disalahgunakan oknum kapal yang korup, sebelum melakukan pelayaran panjangnya.

Produk Unggulan
Di tengah perjalanan antara Ruteng dan Bajawa sampai Mbai, Kabupaten Nagekeo, saya melihat hamparan hutan bambu membentang di sepanjang jalan. Pokok-pokok bambu yang tumbuh subur itu hanya sebagian kecil dipakai untuk bahan bangunan rumah, dinding, kandang ternak atau pagar halaman. Selebihnya dibiarkan tumbuh menghutan. Padahal industri sumpit di perkotaan dan perabotan rumah tangga sangat memerlukan bahan baku bambu yang akhir-akhir ini sudah semakin langka. Pokok-pokok bambu sepanjang jalan yang memiliki nilai ekonomi itu belum dimanfaatkan maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Dalam era otonomi daerah, peran dan peluang pemerintah daerah seharusnya lebih besar dalam menjalankan desentralisasi ekonomi di daerah dalam rangka mendukung ekonomi nasional.

Sepanjang perjalanan, kendaraan kami sering terhambat oleh truk-truk besar yang berjalan lambat di depan kami. Sius, si pengemudi, bercerita kepada saya bahwa truk-truk besar di depan kami sedang memuat pisang hasil panen masyarakat dari kebun pisang di sepanjang jalan. Saya gembira mendengar itu, tetapi kegembiraanku hanya sesaat setelah saya diberi tahu bahwa satu tandan pisang dijual hanya seharga 8 sampai 9 ribu rupiah. Pisang bertruk-truk itu dibawa ke Bali dan Jawa dan di sana diolah menjadi keripik yang dibungkus dalam kemasan dan diberi label menarik. Sebagian pisang itu juga dipakai untuk sarana upacara adat di Bali. Pisang yang dibeli dengan harga murah itu telah disulap menjadi makanan ringan oleh tangan-tangan terampil di kota menjadi keripik pisang yang dijual kembali di kedai-kedai. Saya berharap ada program pemprop dan para bupati yang melatih SDM lokal meningkatkan keterampilan masyarakat untuk memberi nilai tambah pada produk lokal.

Sesampai di Moni, Sius menawarkan kepada saya untuk mendaki puncak Kelimutu sambil bernostalgia melihat Danau Tiga Warna. Saya setuju dengan tawaran itu, sambil berolahraga mencoba ketahanan fisik di usia senja ini. Perjalanan kami cukup lancar dan menyenangkan di udara pagi yang sejuk. Banyak wisatawan lokal dan mancanegara menikmati indahnya pemandangan Danau Kelimutu. Beberapa wisatawan lokal dari Jawa Barat yang berjalan di depan kami mengagumi keindahan Danau Kelimutu yang menurut mereka lebih indah dari Obyek Wisata Kawah Tangkuban Perahu di Bandung. Sekilas terbersit kebanggaan di hatiku. Tetapi saya menyayangkan kurangnya sarana umum seperti toilet yang memadai bagi wisatawan yang memerlukan. Beberapa toilet usang yang ada sudah tidak terawat dan kotor sehingga tidak layak pakai lagi. Beberapa anak tangga pendakian yang rusak dibiarkan saja, padahal dapat mengganggu perjalanan wisatawan. Tidak ada penjual cenderamata khas yang dapat dibeli wisatawan sebagai kenang-kenangan. Obyek wisata yang begitu menakjubkan itu seharusnya dilengkapi fasilitas umum yang lebih baik dan menjadi perhatian instansi terkait.

Bahtera Flobamorata adalah sebuah wadah kemajemukan yang unik. Di dalamnya ada Pulau Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, Alor dan Lembata yang memiliki keunggulan masing-masing. Perairan NTT kaya akan ikannya. Kain tenun ikat NTT indah dan beraneka ragam, tetapi perlu diurus hak patennya. Di Pulau Sumba ada padang savana yang luas dan kuda-kuda Sumba yang gagah. Acara pasola dan lomba pacuan kuda yang diadakan sebagai agenda tahunan, promosinya belum begitu meluas. Kuda-kuda Sumba yang terkenal dan pemandangan padang savana yang luas itu bisa dijadikan obyek pariwisata yang menarik. Sumba juga dikenal dengan ternak sapi dan kerbaunya, tetapi belum membuat rakyatnya sejahtera.

Pulau Timor dikenal dengan penghasil sapi untuk diekspor ke Pulau Jawa. Bahkan di Kupang dulu ada pabrik pengalengan daging sapi yang terkenal dan hasilnya dikirim ke Belanda, Jerman dan Australia. Kini jumlah ternak sapi sudah jauh berkurang dan kualitasnya menurun. Sebuah tulisan di Kompas (14/7/08) berjudul : Berharap kepada Gubernur terpilih, menyuarakan seorang peternak sapi Simon Henuk (64) agar Fren mengembalikan Timor sebagai gudang ternak sapi. Simon berharap pemerintah daerah mengadakan bibit ternak sapi unggul, pengadaan obat-obatan untuk menanggulangi hama ternak dan memperbaiki sistem paronisasi. Harapan Simon adalah juga harapan para peternak dan rakyat NTT. Timor juga merupakan penghasil kayu cendana di masa lalu, tetapi kini sudah sulit ditemukan. Masih ada harapan untuk mengembalikan kayu cendana sebagai produk unggulan dengan gerakan penanaman massal dan pengaturan perdagangannya yang lebih menguntungkan rakyat. Selain itu masalah kekeringan yang selalu melanda NTT merupakan tantangan tersendiri bagi Fren untuk memprogramkan pengadaan air bersih untuk kebutuhan sepanjang tahun.

Di Pulau Flores dan Alor terhampar hutan kemiri yang luas sebagai tanaman perdagangan yang bernilai ekonomi. Ada kakao dan jambu/kacang mete yang menjadi andalan masyarakat serta pisang beranga dan ubi Nuabosi. Harian Kompas (30/8/08) memuat berita berjudul : Indonesia Bisa Menjadi Eksportir Kakao Terbesar di Dunia. Indonesia berpeluang menjadi pengekspor kakao nomor satu dunia asalkan dapat mengatasi dua masalah utama, yaitu penyediaan bibit unggul dan penggunaan pupuk alam. Saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Saya berharap nakhoda Fren bisa meningkatkan penanaman kakao dan meningkatkan kualitasnya menyusul Pemprop Sulawesi Tengah yang telah menandatangani MoU dengan Menristek RI untuk meningkatkan tanaman kakao, beberapa waktu lalu.

Kembali saya menapaki perjalanan di Nagekeo, kabupaten baru yang sedang menjalani pilkada langsung untuk memilih pemimpinnya. Dahulu, Bupati Ngada (waktu itu dijabat Nani Aoh) saya tugaskan untuk merancang pemindahan Ibu kota Kabupaten Ngada dari Bajawa ke Mbai. Hal itu sejalan dengan pembentukan Kapet Mbai yang sudah disetujui pemerintah pusat. Segala upaya sudah dilakukan termasuk pembangunan sarana prasarana untuk pembentukan kota yang baru, serta percobaan pendaratan dan penerbangan pesawat Casa milik TNI-AL di lapangan terbang 'Surabaya Dua'. Tetapi tampaknya pemindahan ibu kota mustahil dilakukan waktu itu. Kini, setelah 14 tahun berlalu, terjawab sudah bahwa segala upaya yang telah dilakukan tidak sia-sia. Calon Ibu kota Ngada yang telah dipersiapkan di Mbai kini menjadi Ibu kota Kabupaten Nagekeo. Bupati Nagekeo terpilih mempunyai tugas melanjutkan pembangunan Kota Mbai yang pernah dirintis dulu termasuk melanjutkan pembangunan Kapet Mbai dengan mengembangkan potensi sumber daya alamnya yang beragam.

Misi Mengembangkan Produk Unggulan
Saya baca salah satu program Fren adalah mengembangkan produk unggulan yang ada di setiap pulau/daerah. Kalau program itu bisa diwujudkan akan membawa perbaikan pada kesejahteraan rakyat. Tetapi program itu harus dilakukan secara sinergis, bahu membahu antara pemerintah daerah, dunia usaha dan seluruh rakyat NTT. Misi itu harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pertama, Pemprop NTT dan pemkab/pemkot menjadikan program mengembangkan produk unggulan daerahnya sebagai program prioritas untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah daerah sebagai motivator dan fasilitator mencanangkan gerakan penanaman massal tanaman unggul, menyediakan bibit unggul, obat-obatan anti hama, mengadakan bibit ternak unggul dan menyediakan sarana prasarana untuk kemudahan pelaksanaannya. Saya membayangkan alangkah baiknya Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah pusat dapat dialihkan untuk program unggulan ini atau dijadikan sebagai program padat karya untuk penanaman massal. Pemda mengadakan berbagai pelatihan keterampilan bagi kelompok masyarakat dan menyediakan tenaga penyuluh serta tenaga pendamping yang didukung dana APBD/APBN.

Kedua, para pengusaha dilibatkan dalam program ini sebagai pemodal untuk menggerakkan inti-inti usaha dan membeli hasil-hasil panen rakyat dengan harga yang pantas. Jangan sampai petani dirugikan oleh ulah tengkulak/pengijon. Pemda mengawasi agar keterlibatan pengusaha dalam program ini dapat memberi nilai tambah bagi kedua belah pihak, yaitu pengusaha sebagai pemodal dan rakyat sebagai subyek pelaksana pembangunan.
Ketiga, seluruh lapisan masyarakat dilibatkan dalam program mengembangkan produk unggulan ini. Rakyat dimotivasi untuk bekerja keras mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kebun-kebun sekolah digalakkan lagi sebagai kegiatan eksta kurikuler bagi anak didik. Kalau pada pilkada lalu Fren berkampanye untuk memenangkan suara rakyat, maka kini saatnya Fren berkampanye untuk mengembalikan produk unggulan daerah masing-masing. Kembalikan Timor sebagai gudang sapi. Flores sebagai lumbung beras, kakao dan jambu mete. Sumba sebagai gudang sapi dan kuda. Alor sebagai pulau kemiri. NTT sebagai lumbung jagung dan gudang sapi. Perairan NTT sebagai penghasil ikan. Jadikan tenun ikat busana kebanggaan NTT dan sebagainya.

Dalam perjalanan pulang dari safari saya membayangkan bahwa usaha para pemimpin NTT dan rakyatnya tidak akan berhasil tanpa penyertaan Allah. Tanpa Allah, usaha manusia akan sia-sia. Saya teringat seorang sahabat yang memiliki moto hidup yang indah diambil dari Kitab Suci. "Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah" (2 Korintus 3 : 5 ). Dengan usaha yang sungguh-sungguh seraya memohon bimbingan dan penyertaan Allah, kita akan berhasil.

Akhirnya, terima kasih buat pengemudi Sius, Andi dan Jarot, Romo Bene Bensi serta para bupati yang telah membantu melancarkan perjalanan safari saya. Flobamorata-Imanuel! *

Gubernur NTT Periode 1993 - 1998

Monday, September 08, 2008

Solusi Pengembangan Ekonomi Pedesaan

Oleh: AA Ola

MISKIN, rasa-rasanya rangkaian huruf-huruf yang membentuk kata ini masih sulit untuk dipisahkan dari kehidupan hampir sebagian besar masyarakat kita. Kita harus berani mengakui realita ini, karena pengakuan sudah merupakan modal sosial dalam rangka pengentasan kemiskinan. Tanpa ada pengakuan, maka sudah pasti tidak ada keinginan untuk mengatasinya.
Mengapa kemiskinan itu masih begitu sulit diretas? Menurut hemat penulis, salah satu penyebabnya karena sistem perekonomian yang masih timpang. Kita masih sangat berorientasi pada masalah pertumbuhan ekonomi, yang tidak melihat tingkat perkembangan perkonomian secara mikro seperti perkembangan pendapatan perkapita penduduk. Kita lebih cenderung melihat perkembangan perekonomian secara makro.
Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya akumulasi kapital pada orang atau golongan tertentu yang jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan sebagian besar masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Reformasi sebenarnya merupakan momen penyadaran akan ketimpangan tersebut, namun pada kenyataannya pergerakan perekonomian kita belum banyak menyentuh persoalan hakiki dari masyarakat miskin itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat sendiri belum sepenuhnya diberi kepercayaan untuk menata perekonomian sendiri.
Persoalan rendahnya nilai jual komoditi masyarakat menjadi bukti realita ini. Secara logika yang memiliki baranglah yang menentukan harga barang. Namun pada kenyataannya yang terjadi sebaliknya, pembeli yang menentukan harga barang. Ketergantungan masyarakat terhadap pemilik modal sangat tinggi, sementara di lain pihak intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar untuk sementara kalangan masih dianggap tabu. Bagaimana meretasnya? Badan Usaha Milik Desa salah satu solusinya.
Badan Usaha Milik Desa (atau disingkat BUMDes) merupakan badan usaha yang dikelola oleh desa dan berbadan hukum. Pemerintah desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa ditetapkan dengan peraturan desa.
Penulis yakin bahwa akan ada nada pesimistis ketika gagasan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dikemukakan. Pihak yang pesimis ini berasumsi bahwa jangankan mengembangkan BUMDes, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja banyak yang bermasalah. Badan Usaha Milik Desa? Tentu saja pemikiran demikian ada benarnya mengingat masih banyak badan usaha pemerintah di tingkat kabupaten, propinsi bahkan di tingkat nasional yang bermasalah sehingga pengembangan BUMDes juga kelak akan mengalami permasalahan yang sama. Namun satu hal yang dilupakan bahwa asumsi demikian belum tentu benar, toh permasalahan desa berbeda dengan permasalahan di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat.

Permodalan
Permodalan Badan Usaha Milik Desa dapat berasal dari pemerintah desa, tabungan masyarakat, bantuan pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, pinjaman, atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.

Dengan modal tersebut BUMDes dapat membiayai berbagai usahanya antara lain,
  1. Pelayanan jasa yang meliputi : simpan-pinjam, perkreditan, angkutan darat dan air, listrik desa dan lain-lain sejenisnya.
  2. Penyaluran 9 (sembilan) bahan pokok masyarakat desa.
  3. Perdagangan sarana dan hasil pertanian, yang meliputi hasil bumi, pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan agrobisnis.
  4. Industri kecil dan kerajinan rakyat.
  5. Kegiatan perekonomian lainnya yang dibutuhkan oleh warga desa dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat.

Pada titik ini peran BUMDes sangat strategis mulai dari proses pra produksi, produksi sampai ke pasca produksi. Kondisi yang terjadi selama ini, proses pra produksi dan produksi sudah mendapat banyak sentuhan, namun pasca produksi, masyarakat masih dibiarkan sendiri dalam memasarkan komoditinya. Hal ini membuka peluang terjadinya market pressure yang bahkan menjurus ke kanibalisme pasar. Dan sudah dipastikan masyarakat akan berada pada posisi yang ditekan dan menjadi korban para kanibalis.
Melalui BUMDes semua komoditi masyarakat dibeli dengan harga yang pantas. Pada titik ini peran pemerintah dalam hal ini dinas perdagangan atau instansi lain yang memiliki fungsi sejenis, memfasilitasi BUMDes untuk memberikan informasi harga pasar dan menyiapkan akses pasar.
Manfaat yang diperoleh dari mekanisme yang dibangun ini adalah, pertama, nilai jual komoditi masyarakat semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan pendapatan masyarakat makin tinggi, sehingga di samping dipakai untuk biaya konsumsi, masih ada saving yang bisa dipakai untuk biaya kesehatan dan pendidikan serta untuk pengembangan usaha keluarga. Kedua, menetralkan harga pasar. Para pemilik modal tidak dapat seenak perut mematok harga komoditi. Masyarakat sebagai pemilik barang memiliki nilai tawar yang sama dengan para pembeli (pemilik modal). Ketiga, meningkatkan PADesa.


Dengan melihat pentingnya peran BUMDes dalam pengembangan perekonomian perdesaan, maka ada beberapa hal yang ditawarkan dalam rangka merancangbangun BUMDes antara lain:

  1. Akumulasi kapital internal. Akumulasi kapital yang diharapkan yaitu kapital ekonomi (simpanan dari anggota), pengembangan sumber daya manusia, pengelolaan kapital fisik desa (pasar desa, tanah kas desa) dll yang dapat juga dimanfaatkan sebagai kapital usaha produktif.
  2. Distribusi kapital eksternal. Kapital yang masuk ke desa (BUMDes) berupa kapital ekonomi yang berasal dari pemerintah desa, pemeritah kabupaten, pemerintah propinsi dan pihak ketiga.
  3. Unit Usaha dan Kemitraan. Pengembangan unit usaha baru dapat dilakukan merujuk pada kewenangan BUMDes. Keanggotaan BUMDes selain individu juga merupakan organisasi pelaku ekonomi lainnya seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Kelompok Tani (KTN), Koperasi Unit Desa (KUD), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dll. Dengan demikian BUMDes berperan sebagai induk atau payung bagi organisasi pelaku ekonomi desa untuk berhubungan dengan pihak-pihak di luar desa.
  4. Pembagian Sisa Hasil usaha (SHU). Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan bagian yang penting dalam pengembangan BUMDes. Hal inilah yang membedakan BUMDes dari badan usaha lainnya seperti pengusaha individu (CV) atau PT, dll.
    Tumpal P Saragi dalam bukunya berjudul Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Alternatif Pemberdayaan Desa menyebutkan lima tujuan pembentukan BUMDes yaitu :
  • peningkatan kemampuan keuangan desa.
  • pengembangan usaha masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan.
  • mendorong tumbuhnya usaha masyarakat.
  • penyedia jaminan sosial.
  • penyedia pelayanan bagi masyarakat desa.

Tujuan pembentukan BUMDes No a, c dan e sangat tergantung pada kewenangan yang dimilikinya. Sementara tujuan a dan d sangat ditentukan bagaimana pengalokasian SHU yang diperoleh. Dengan demikian maka alokasi SHU harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan BUMDes seperti pemerintah desa, pengurus BUMDes, LSM dan masyarakat (individu/keluarga atau organisasi sebagai anggota) merumuskan bersama distribusi SHU tersebut. Namun hal-hal pokok yang dapat dipertimbangkan adalah :

  1. Bahwa ada bagian tertentu yang dialokasikan untuk PADesa.
  2. Jasa pengurus.
  3. Bagian untuk anggota.
  4. Cadangan modal.
  5. Jaminan sosial.

Dari uraian di atas tampak bahwa BUMDes memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun sebuah model perekonomian yang berbasis masyarakat lokal (desa). Karena dari sana masyarakat bisa menganalisis sendiri persoalan yang dihadapi, merancang jenis kebutuhan yang dapat dipakai untuk menjawabi persoalan dimaksud dan melaksanakan sendiri kegiatan perekonomiannya mulai pra produksi, produksi dan pasca produksi. Peran pihak lain hanya sebatas pada peningkatan kapasitas BUMDes seperti

  1. Pemerintah berperan untuk memfasilitasi reformulasi kebijakan yang mendukung tumbuh kembangnya BUMDes.
  2. LSM berperan dalam pengembangan sumberdaya manusia (managemen yang handal), pengaturan sistem dan mekanisme akumulasi dan distribusi kapital, perbaikan administrasi dan perancangan imbal jasa serta pembagian keuntungan, inisiator usaha-usaha baru dan pengembangan jaringan.
  3. Pengusaha lokal berperan sebagai penampung hasil-hasil usaha masyarakat dan pemasok kebutuhan usaha masyarakat dengan harga yang menguntungkan kedua belah pihak.

Tahun 1997 lulus dari STPDN. Meraih gelar Magister Ekonomi Pembangunan UGM jurusan Pembangunan Daerah 2005. Kini bekerja pada BPMD Kabupaten Lembata