Friday, August 29, 2008

Memasung Keadilan

Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD

BAGI gereja di banyak negara di Eropa Barat, salah satu pertanyaan yang kian menantang adalah bagaimana mengurus gedung-gedung gereja. Memang gereja harus berkonsentrasi pada manusia, namun dalam sejarah gereja telah membangun banyak gedung sebagai sarana ibadah dan serentak sebagai ekspresi identitas diri.
Namun, dalam perkembangan ternyata ada terlampau banyak gedung untuk sedemikian sedikit umat. Di satu pihak, menurunnya orang Kristen yang menghadiri kebaktian di gereja melahirkan pertanyaan mengenai kegunaan mempertahankan gedung-gedung sakral tersebut. Umat yang semakin menurun dilayani oleh tenaga pastoral yang semakin kurang pula. Paroki-paroki kecil digabungkan. Dengan ini kebutuhan akan gedung ibadah pun berkurang. Di lain pihak, persoalan keuangan yang semakin sulit memaksa para pemimpin gereja untuk memikirkan penghematan. Perawatan gedung menelan banyak biaya. Karena itu, langkah yang paling konsekuen dari kenyataan ini adalah melepaskan sebagian dari gedung-gedung tersebut. Caranya?

Banyak sekali orang tentu bisa memahami bahwa gereja-gereja tidak dapat lagi mempertahankan sekian banyak gedungnya. Namun, ketika pertanyaannya berkisar pada masalah cara untuk meringankan gereja dari beban yang ada, ternyata ada banyak perbedaan pendapat. Diskusi panjang dan melelahkan sering harus dilewati. Namun bagaimanapun langkah harus diambil. Ada gereja yang dijual untuk dijadikan tempat pertunjukan. Sebagian dibeli oleh sekte atau kelompok religius lain untuk tujuan yang sama, sebagai sarana ibadah. Ada pula yang dijadikan arsip dan perpustakaan, seperti bekas gereja para Fransiskan di Maastrich, Belanda. Di sana, gedung yang tua itu dipoles dengan sentuhan artisektur yang serasi menjadi sebuah tempat pembelajaran arsip dokumen-dokumen tua yang menyenangkan.

Persoalan berkenaan dengan gedung ternyata tidak hanya berkisar pada pelepasan atau penjualan. Ada gedung gereja yang terlalu sempit atau terlalu pengap untuk menjadi tempat ibadat yang menyenangkan. Orang tidak mau membangun gedung baru terpisah dari yang lama, sebab bagaimana pun yang lama telah menjadi satu pusat kehidupan umat. Di sini persoalannya adalah bagaimana menambahkan ruangan yang secara serasi dipadukan dengan gedung tua.

Salah satu contoh penggabungan yang menarik adalah gereja biara para Redemptoris (CSsR) di Wittem, Keuskupan Roermond, Belanda. Biara ini selesai dibangun pada tahun 1733 dan dihuni mula-mula oleh para biarawan Kapusin. Tidak lama setelah itu, biara ini harus merasakan akibat dari Revolusi Perancis yang meluas di Eropa pada akhir abad ke-18. Para Kapusin diusir dari Wittem. Baru pada tahun 1930-an abad ke-19, biara ini kembali dihuni. Kali ini yang datang adalah para biarawan Redemptoris. Wittem menjadi sebuah pusat studi para Redemptoris. Di tempat ini sejumlah pengajar dan pemikir yang berpengaruh pernah berkarya, seperti Pater Victor Dechamps, yang kemudian menjadi Uskup Agung Mechelen dan sangat berperan pada Konsili Vatikan I. Juga Pater W van Rossum yang menjadi kardinal pertama Belanda sejak reformasi. Kemudian dia memimpin konggregasi penyebaran iman (Propaganda Fide) di Roma.

Dengan staf yang kuat dan berpengaruh, Wittem menjadi tempat studi yang dikenal. Kemudian karena kekurangan panggilan, para Redemptoris pun melepaskan tempat ini sebagai pusat studi. Yang tertinggal adalah perpustakaan biara dan gereja yang sudah menjadi sebuah tempat ziarah.

Wittem menjadi sebuah tujuan ziarah yang banyak dikunjungi oleh para peziarah dari Keuskupan Roermond di Belanda dan Aachen di Jerman. Maklumlah, Wittem tidak jauh dari Aachen. Pada tahun 1962 dibangun sebuah ruangan di samping gereja tua. Sebuah pintu menghubungkan gereja tua dengan ruangan baru ini. Memang sangat kentara perbedaan antara keduanya. Gereja tua bergaya barok dengan sejumlah elemen gotis, memberi kesan keagungan, sementara ruang ibadat yang baru tampak cerah dan sederhana. Kendati demikian, suasana religius yang tercipta memungkinkan peralihan dari ruang yang satu ke ruang yang lain. Ruang yang baru secara khusus menjadi ruang doa bagi para peziarah yang mempunyai ujud khusus kepada Santo Gerardus Manjella, seorang bruder Redemptoris bekebangsaan Italia yang hidup dari tahun 1726 hingga tahun 1755.

Pada dinding gereja tua dapat dilihat beberapa gambar sejumlah orang kudus dengan adegan-adegan istimewa dalam hidup mereka. Semuanya memang tampak tradisional. Di ruangan doa yang baru, selain salib besar di balik altar dan sebuah patung Santo Gerardus, semuanya ditata secara modern. Pada dinding kaca ruangan ini tidak ada gambar kudus dalam arti yang tradisional. Bingkai kaca yang besar itu dipenuhi dengan gambar-gambar modern.

Di sana misalnya tertulis kata sanctus (kudus), dan di sekitarnya digoreskan sejumlah nama dari berbagai latar belakang. Ada nama Achmed yang mengitari kata sanctus. Ini sebuah ungkapan pengakuan bahwa yang menyembah Sang Kudus adalah manusia dari berbagai agama dan tradisi religius. Juga, manusia yang dapat disebut kudus, yang memancarkan kekudusan, yang turut menguduskan dunia, berasal dari berbagai latar belakang.

Yang kudus adalah yang tak terbagi, yang tidak memisah-misahkan. Dia adalah yang satu dan mempersatukan. Sebab itu, manusia tidak boleh membuat pemisahan dan pemecahbelahan atas nama Dia yang kudus. Penyembahan yang benar terhadap yang kudus adalah usaha yang telaten dan konsekuen untuk mempersatukan. Tentu saja ini merupakan satu kritik terhadap sejumlah pemahaman dan praktik beragama yang justru memisahkan dan memecahbelahkan daripada mempersatukan. Betapa jauh terkadan realitas agama dari Sang Kudus.

Di samping bingkai kaca dengan tulisan sanctus tersebut, ada sebuah bingkai lain yang berbicara mengenai keadilan. Tampaknya gambar ini hasil karya anak-anak. Inti gambar ini melukiskan keadilan yang terpasung. Ada sebuah sosok yang terbungkus dengan kain hitam bertulisan Gerechtigkei (keadilan), tak berdaya di tiang gantungan. Gambar ini dapat dibaca sebagai ungkapan lain dari salib, karena pada salib pun keadilan dibunuh secara kejam.

Memasung keadilan bukan hanya sebuah ungkapan dan tema yang ditulis dan dipajang pada transparan para demonstran yang melancarkan protes. Pemasungan keadilan harus juga menjadi tema yang mengundang keprihatinan dan kepedulian setiap orang yang beriman kepada Allah. Bertindak tidak adil adalah salah satu bentuk penolakan terhadap kedaulatan Allah. Yang menjadi masalah utama adalah bahwa orang tidak merasa bersalah ketika bertindak tidak adil. Keadilan bukan lagi menjadi sebuah norma yang harus dipenuhi, melainkan sebuah prestasi tambahan yang bisa dikejar kalau merasa memiliki tenaga lebih.

Dalam konteks keseluruhan bangunan gereja di Wittem, keadilan adalah memberi ruang pengartikulasian diri. Yang lama dan yang baru mendapat ruang yang memadai untuk diartikulasikan. Namun pengartikulasian ini tidak menghantar kepada pemisahan diri secara total dari yang lain, tidak harus menjadi alasan bagi kesewenang-wenangan. Sambil mengartikulasikan diri dan kepentingannya, orang masih tetap memberi ruang untuk memasuki dan menghargai apa yang menjadi kekhasan dari kelompok atau tradisi yang lain. Keadilan hanya tercapai, apabila orang tidak menjadi egoistis dalam perwujudan apa yang menjadi haknya.

Memasung keadilan pun bukan hanya sebuah tema di negara-negara di belahan selatan bumi. Di Eropa dan Amerika pun keadilan sering terpasung. Diskriminasi internal memang dapat lebih mudah dicegah melalui perangkat hukum yang memadai. Namun perangkat hukum tidak selalu memggambarkan apa yang hidup di dalam hati dan pikiran seseorang. Tidak sedikit orang yang secara tersembunyi, di rumah atau dan terlebih di dalam hati dan pikirannya, masih sering menghidupkan diskriminasi. Pemikiran dalam bingkai stereotip, yang mengkotak-kotakkan orang hanya berdasarkan beberapa pengalaman sporadis. masih agaknya masih cukup meluas.

Persoalan pemasungan keadilan menjadi lebih jelas apabila kita berpikir secara global. Berapa banyak ketidakadilan yang diperkokoh oleh pemberian bantuan luar negeri atau dalam investasi dunia usaha. Bantuan luar negeri menciptakan ketergantungan, yang jika tidak dikritisi, akan terus memojokkan negara-negara miskin. Investasi dunia usaha ke luar negeri sering merupakan pelarian mencari kondisi usaha yang murah demi perolehan keuntungan yang kian besar. Ketentuan perlindungan tenaga kerja yang masih longgar dan peraturan lingkungan yang belum konksekuen memungkinkan produksi dengan biaya rendah. Penekanan biaya produksi menjadi dasar bagi penngkatan keuntungan. Karena realitas seperti ini, maka sewajarnya masalah keadilan menjadi masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat Eropa.

Keadilan adalah salah satu tema utama dalam hal beragama. Selain ditematisasi di dalam doa, lagu dan kotbah, penataan gedung dan lukisan dapat mempertajam kepekaan orang akan pentingnya kepedulian dan partisipasi dalam memperjuangkan keadilan. Agama-agama sejatinya semakin menaruh perhatian dan kepedulian terhadap masalah keadilan. *


Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

No comments: