Thursday, July 31, 2008

Mengatasi Post Power Syndrome

Oleh : Herman Musakabe
POST power syndrome (disingkat PPS) adalah suatu sindrom pasca kekuasaan di mana seseorang mengalami perubahan status dari 'berkuasa' menjadi 'tidak berkuasa', dari keadaan powerfull menjadi powerless, dari seorang 'bos' menjadi 'orang biasa'. Perubahan ini oleh sebagian orang dapat dilalui dengan baik tanpa suatu hambatan yang berarti, tetapi sebagian orang tidak dapat melalui dengan baik sehingga menimbulkan gejala atau tanda-tanda ketidaknormalan tertentu pada emosi dan tindakan yang dapat menyebabkan gangguan baik fisik maupun psikis dalam diri yang bersangkutan.

Sebenarnya PPS adalah gejala biasa dan alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang karena faktor usia yang bertambah dan menyebabkan seseorang harus memasuki masa pensiun atau purnatugas. Masalahnya adalah ketidaksiapan sebagian orang secara fisik dan mental menghadapi PPS, terutama menyangkut beberapa faktor kehidupan. Faktor sosial ekonomi, penghasilan yang berkurang yaitu uang pensiun yang diterima tidak sebesar penghasilan waktu masih berdinas aktif. Padahal masih ada berbagai kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Sejumlah fasilitas dan kemudahan yang didapat selama berdinas aktif semuanya ditarik negara sehingga semua beban menjadi tanggungan sendiri. Aktivitas yang berubah/berhenti secara mendadak, dari banyak kegiatan (sibuk) menjadi menganggur, dari sering berkomunikasi dan berinteraksi dengan rekan kerja dan bawahan menjadi sendirian, menjadikan orang kesepian. Perubahan status sosial dari pejabat menjadi mantan pejabat dapat mengakibatkan timbulnya stres bagi sebagian yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Ibarat seorang yang berada di ruangan ber-AC/pendingin yang tiba-tiba keluar ruangan yang panas dan mengalami perubahan suhu secara drastis.

Dampak dari faktor-faktor di atas akan lebih besar bagi para pejabat pemerintahan atau pimpinan perusahaan karena kekuasaan yang dimilikinya, sehingga akibat yang ditanggung dari PPS pun menjadi lebih besar. PPS bisa menimpa siapa saja, bisa menimpa seorang mantan presiden, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR/DPRD atau seorang direktur perusahaan, karena kekuasaan dan fasilitas dinas ditarik dan jabatannya harus diserahkan kepada orang lain. Hal serupa bisa terjadi di semua profesi, termasuk di dunia olahraga. Para juara tinju dunia di AS yang disanjung-sanjung publik dan memiliki materi berkelimpahan, sebagian besar mengalami stres dan jatuh miskin setelah dikalahkan oleh petinju muda yang merebut gelarnya. Mereka tidak bisa menikmati ketenangan hidup di hari tuanya karena dililit hutang akibat gaya hidup yang boros dan tagihan pajak yang harus dilunasinya. Di Indonesia, banyak kisah-kisah atlit tempo doeloe dan para selebriti yang berjaya pada zamannya tetapi kini harus hidup menderita dengan hanya mengharapkan belas kasihan orang lain.

Semua dampak PPS pada hakikatnya merupakan rambu peringatan bahwa di dunia yang fana ini tidak ada yang abadi. Pangkat, jabatan, kekayaan dan popularitas hanyalah bersifat sementara. Setiap orang harus mengembalikan apa yang dimilikinya kepada Tuhan bila saatnya tiba. Walaupun PPS merupakan hal yang tidak mudah dilalui bagi orang yang pernah memegang kekuasaan, namun selalu ada upaya-upaya untuk mengatasinya atau minimal mengurangi dampak negatif PPS.

Beberapa Kiat Mengatasi PPS
Berdasarkan beberapa literatur dan pengalaman pribadi, ada beberapa cara untuk mengatasi PPS tersebut. Penulis ingin berbagi (sharing) pengalaman tentang cara-cara mengatasi PPS dengan tidak bermaksud menggurui, karena setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya. Masa pensiun seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang yang akan menjalaninya. Apalagi istilah di-'pensiun dini', PHK, atau terlibat kasus-kasus dugaan korupsi menjadi beban tersendiri pada akhir masa tugas dan purnatugas. Masa transisi yang lazim disebut Masa Persiapan Pensiun (MPP) seringkali diplesetkan menjadi 'mati pelan-pelan'.
Namun, ada beberapa orang yang mampu mengatasi PPS dengan baik dan mungkin bisa menjadi contoh bagi orang lain. Salah seorang perwira tinggi senior yang tetap sehat walaupun sudah berusia 90-an tahun adalah Letjen TNI (Purn) Kartijo. Beliau adalah salah seorang mantan Komandan Seskoad yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR. Setiap HUT Seskoad yang jatuh pada tanngal 25 Mei, semua mantan Danseskoad diundang dan Pak Kartijo tidak pernah absen. Padahal beberapa mantan Danseskoad yang lebih muda berhalangan hadir karena masalah kesehatan atau karena telah berpulang. Kalau ditanya mengenai resep hidup sehat dan umur panjang, Pak Kartijo selalu membagikan pengalamannya. "Jangan berhenti beraktivitas dan jangan biarkan otak berhenti berpikir. Biasakan sel-sel otak terus bekerja, bahkan dengan cara sederhana mengisi teka-teka silang (TTS) sekali pun. Hidup sederhana dan jangan ngoyo, olah raga jalan kaki serta rajin mendekatkan diri kepada Tuhan," ujarnya. Itulah Pak Kartijo, sosok yang sering dijadikan contoh bagi para perwira yang lebih muda. Memang sejak masih berdinas aktif di TNI, Pak Kartijo dikenal sebagai perwira yang hidupnya sederhana, bersih dan sangat berdisiplin.

Beberapa cara mengatasi PPS dapat disampaikan sebagai berikut ini. Pertama, ketika memasuki masa pensiun hadapilah dengan lapang dada dan sikap legawa. Anda harus merasa bersyukur kepada Tuhan, karena masih dapat mengakhiri tugas dengan baik dan memasuki masa pensiun. Ada masa datang dan ada masa pergi, begitu juga jabatan harus ditinggalkan pada waktunya untuk diserahkan kepada pengganti yang lebih muda. Penyesuaian diri dengan lingkungan baru sangat penting. Makin cepat Anda menyesuaikan diri, makin baik untuk mengatasi PPS. Tinggalkan masa lalu dan hadapi masa depan sebagai tempat pengabdian baru dengan segala tantangan baru pula.

Kedua, mencari aktivitas dan kegiatan untuk mengisi waktu luang yang banyak tersedia. Membina/mengurus keluarga dengan memberi perhatian lebih besar kepada para anggota keluarga. Memilih tempat berdomisili yang tepat juga penting, karena keberadaan keluarga, kerabat dan lingkungan yang mendukung merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi dampak PPS. Kadang-kadang beberapa kegiatan harus dicoba sebelum mendapatkan kegiatan yang pas/cocok untuk dijalani. Ada beberapa orang yang menjalani usaha/bisnis, kegiatan bidang politik, bidang rohani, melanjutkan belajar/kuliah, aktif di yayasan sosial, atau bekerja paruh waktu sesuai bakat atau profesi yang pernah dijalani. Semua kegiatan itu baik, asalkan positif dan tidak terlalu membebani diri dengan biaya atau beban pikiran di luar kemampuan. Penulis pernah mencoba mengikuti kegiatan di bidang politik, pengurus yayasan anti narkoba, mengikuti tim safari rohani (seminar, triduum devosi) bersama seorang romo moderator Marian Centre Indonesia (MCI) ke daerah-daerah, menjadi widyaiswara tamu di Lemhannas, menulis artikel di beberapa media massa dan menulis buku tentang kepemimpinan dan rohani. Di antara kegiatan tersebut yang masih tetap setia dijalani sampai sekarang adalah menulis artikel, menulis buku dan kegiatan rohani (mengembangkan Doa Rosario Hidup), sedangkan kegiatan lainnya sudah berangsur-angsur ditinggalkan. Dengan menulis, saya bisa berbagi pengalaman dengan orang lain dan tetap merasa berguna bagi sesama. Apalagi kegiatan menulis mengharuskan banyak membaca sebagai referensi dan acuan. Kegiatan apa pun tidak masalah, selama kegiatan itu positif dan Anda menyukainya serta mendapatkan kepuasan batin.
Ketiga, salah satu masalah yang sering dihadapi dalam masa pensiun adalah masalah kesehatan, karena seiring bertambahnya usia bertambah juga penyakit yang merongrong tubuh. Bapak Cosmas Batubara (mantan menteri) dalam sebuah perjalanan menyampaikan joke bahwa para manula punya penyakit '5 B', yaitu botak, beser (sering buang air kecil), buram (penglihatan berkurang), budek (pendengaran berkurang/tuli) dan bego (menjadi pelupa/bodoh). Menjaga kesehatan dengan makanan yang berimbang, istirahat cukup dan berolah raga sangat dianjurkan. Olah raga yang 'murah meriah' adalah berjalan kaki, jogging, senam atau bersepeda karena bisa dilakukan sewaktu-waktu. Selain berobat ke dokter, berbagai pengobatan alternatif bisa menjadi pilihan atau mengonsumsi obat-obatan herbal untuk menjaga kesehatan dan sebagainya. Jatuh sakit pada masa pensiun merupakan beban yang berat bagi si sakit dan keluarga, karena biaya yang dikeluarkan cukup besar, sementara sumber dana terbatas. Oleh sebab itu menjaga kesehatan secara preventif lebih penting daripada mengobati penyakit.

Keempat, masa pensiun adalah masa lebih mendekatkan diri dengan Tuhan sebagai investasi untuk kehidupan yang akan datang. Banyak mantan pejabat aktif di bidang rohani dan giat menjalankan ibadah agamanya pada masa pensiun. Mereka yang Muslim rajin menjalankan solat subuh setiap hari. Para manula merasa lebih sehat bangun pagi dan menjalankan ibadah, karena udara pagi hari lebih menyehatkan. Dalam buku terbaru saya berjudul 'Menuju Hidup Yang Lebih Ekaristis' (2008), saya menganjurkan agar umat Katolik lebih sering mengikuti perayaan ekaristi pada misa harian, selain yang diwajibkan pada hari Minggu. Mengikuti ekaristi menjadikan hidup lebih sehat secara rohani dan jasmani, karena Tuhan selalu membimbing hidup kita.

Kelima, masa pensiun dengan dampak PPS pada hakikatnya adalah buah/hasil dan rekapitulasi dari apa yang Anda tanam selama masih menjabat. Kalau Anda menanam hal-hal yang baik untuk sesama, maka Anda akan menuai kebaikan-kebaikan Tuhan melalui orang-orang di sekitar Anda. Tetapi bila Anda menanam keburukan, permusuhan, penyalahgunaan kekuasaan, intrik politik dan kesewenang-wenangan, maka Anda akan menuai akibatnya di hari tua. Sebagian orang mengalami depresi dan stres berat akibat beban mental yang harus dipikul karena harus berurusan dengan aparat penegak hukum, justru pada saat mereka tidak lagi memiliki kekuasaan. Alih-alih mendapatkan ketenangan pada masa pensiun, justru merasakan beban secara psikis dan ekonomis karena harus menghadapi masalah hukum yaitu dugaan penyalahgunaan kekuasaan dengan segala risikonya. Seperti kata pepatah lama : "Tangan mencencang, bahu memikul", itulah realitas hidup yang harus dihadapi.

Kesimpulannya, PPS adalah sindrom pasca kekuasaan yang tidak terelakkan bagi pejabat yang memiliki kekuasaan. Tergantung bagaimana seseorang menghadapinya, apakah dengan rasa bersyukur kepada Tuhan karena dapat mengakhiri tugas dengan baik, atau dengan rasa kecewa dan tidak legawa karena semua kekuasaan ditarik daripadanya. Sebaiknya PPS dihadapi dengan rasa bersyukur dan carilah kegiatan positif untuk mengisi waktu pensiun. Menjaga kesehatan, berolah raga teratur dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan sangat dianjurkan. Tidak ada yang abadi di dunia yang fana ini, semua jabatan, pangkat, kekayaan, popularitas, bahkan hidup kita akan berakhir dan kita harus menghadapinya dengan rasa bersyukur. Masa pensiun adalah masa yang sangat baik untuk lebih menginvestasikan perbuatan baik kepada sesama dan banyak menjalankan ibadat agama. Dengan demikian dampak PPS tidak akan terlalu dirasakan karena semua yang kita terima akan dikembalikan kepada-Nya pada saatnya. *
Gubernur NTT periode 1993 - 1998

No comments: