Thursday, July 31, 2008

Depolitasi Birokrasi Dan Debirokratisasi Politik

Oleh Norbert Jegalus

SIAPA sih Lebu Raya itu? Hanya karena ia Ketua Partai PDI Perjuangan NTT berambisi menjadi gubernur. Tidak ada lagikah pejabat teras birokrasi NTT untuk memimpin propinsi ini daripada seorang rakyat, Lebu Raya itu? Apakah itu tidak merupakan langkah keliru memilih seorang rakyat yang tidak berpengalaman dalam bidang birokrasi pemerintahan menjadi gubernur?

Itulah pertanyaan yang muncul jauh-jauh hari menjelang pilkada dan terlebih dalam suasana rivalitas kampanye pilkada. Saya membahas persoalan itu dalam kerangka teori politik atau lebih umum sekarang dikenal dengan sebutan ilmu politik normatif, yang mempersoalkan atau mempelajari tentang Das Sollen (apa yang seharusnya atau apa yang normatif) dalam dunia politik: Apakah seharusnya orang-orang yang berpengalaman di dunia birokrasi pemerintahan memimpin pemerintahan?

Depolitisasi birokrasi
Dari kaca mata teori politik sebenarnya hanya ada dua penghalang pembangunan demokrasi kita selama pemerintahan Orde Baru Soeharto, yakni militerisasi politik dan birokratisasi politik. Isi pengetahuan politik masyarakat pada waktu itu tidak lain bahwa yang pantas memangku jabatan politik gubernur, walikota dan bupati hanya birokrat dan militer. Yang muncul dalam wacana suksesi kepala daerah hanyalah diskusi seputar pencalonan dan pemilihan pejabat teras birokrasi pemerintahan seperti sekda, kepala dinas/kantor, kepala biro dan rupa-rupa jabatan penting di birokrasi pemerintahan. Bagi orang-orang di birokrasi dan juga masyarakat pada umumnya, itu adalah sangat rasional dan sudah seharusnya, karena orang-orang birokrat mengetahui dengan baik seluk-beluk birokrasi pemerintahan daerah. Bagaimana mungkin seorang yang tidak berpengalaman di dunia pemerintahan bisa memimpin pemerintahan daerah? Begitu kira-kira argumentasinya. Padahal argumentasi itu sama sekali tidak memiliki nilai normatif, bahkan harus dikatakan semu dalam kerangka paham demokrasi.

Bureaucratic polity itu berkaitan erat dengan eksistensi Golkar yang mengidentikkan dirinya dengan pemerintahan, namun tidak memandang diri sebagai partai yang memerintah meski ia mengikuti pemilihan umum bersama parpol PDI dan PPP. Demikianlah rezim Orba mengelola institusi birokrasi dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Penguatan terhadap lembaga Golkar dengan cara 'golkarisasi' seluruh jajaran birokrasi dari pusat sampai ke daerah adalah bentuk kebijakan politik Soeharto yang mampu memberi dukungan penuh terhadap cita-cita pemerintahannya. Itulah sebabnya, begitu rezim Orba tumbang, maka kebijakan politik yang paling utama dalam rangka pembangunan demokrasi adalah kebijakan demiliterisasi politik dan depolitisasi birokrasi.

Sejak itu dibuat pemisahan tegas antara birokrasi dan politik. Mesin politik sebagai perwujudan demokrasi kedaulatan rakyat. Melalui institusi partai politik, ia merekrut politisi untuk menduduki jabatan politik di lembaga legislatif dan eksekutif untuk membentuk dan mengepalai pemerintahan. Sedangkan mesin birokrasi adalah lembaga negara yang memiliki pengetahuan teknis-birokratis dalam bidang administrasi pemerintahan untuk menjalankan kebijakan politik pemerintahan.

Mesin birokrasi tidak bisa jalan sendiri dan juga tidak bisa jalan dengan sendirinya. Ia tidak bisa jalan sendiri, karena ia adalah lembaga politik negara yang diangkat oleh negara secara permanen untuk melaksanakan kebijakan politik sebuah pemerintahan yang terpilih. Jadi ia berjalan berdasarkan arah program politik pemerintahan yang ada; ia tidak mempunyai program politik sendiri. Juga ia tidak bisa berjalan dengan sendirinya tanpa mesin politik, karena kalau ia berjalan dengan sendirinya, maka ia akan berhadapan dengan sebuah pertanyaan yang sangat fundamental dalam kerangka paham demokrasi: dari mana ia mendapatkan kekuasaan untuk memerintahkan rakyat atau menjalankan pembangunan daerah kalau bukan dari rakyat itu sendiri? Padahal rakyat tidak pernah memberikan kekuasaannya kepada mesin birokrasi selain kepada mesin politik.

Hal itulah yang didiskusikan pada awal reformasi dengan pertanyaan yang kelihatan sederhana tetapi sangat mendasar dalam proses demokratisasi: mengapa birokrasi berkuasa? Seperti disinggung di atas, jawabannya ialah karena rezim Orba mempraktekkan bukan demokrasi melainkan bureaucratic polity.

Sadar bahwa mesin birokrasi adalah ujung tombak pelaksanaan kebijakan politik sebuah pemerintahan, maka sejak awal reformasi kita membuat kebijakan penguatan birokrasi dengan jalan mendepolitisasi birokrasi. Sejak itu Golkar dipisahkan dari birokrasi pemerintahan dan para Pegawai Negeri Sipil tidak hanya dipisahkan dari Golkar tetapi juga dilarang untuk berpartai-politik. Pemisahan itu tidak hanya membantu mesin politik untuk menghidupkan demokrasi dengan benar tetapi juga membantu menguatkan mesin birokrasi itu sendiri sebagai institusi politik negara untuk menjalankan pelayanan kepada masyarakat tanpa diganggu oleh kepentingan politik.

Debirokratisasi politik
Kita perlu terus terang mengakui bahwa yang terjadi selama ini hanyalah pembangunan politik yang demokratis baru pada lembaga legislatif, meski masih ada ketimpangan dan keterbatasannya dan belum ada pada lembaga eksekutif. Kita harus mengakui bahwa belum ada pembagunan politik yang demokratis dalam lembaga eksekutif, yang terjadi adalah masih pembangunan politik yang birokratis. Artinya, birokrasi tetap menjadi isu sentral dalam proses pemilihan kepala daerah seperti pada era bureaucratic polity rezim Orba.
Birokrasi pemerintahan menjadi kata kunci dalam pembentukan pengertian, kesadaran dan sikap politik baik rakyat secara individu maupun rakyat secara institusional dalam bentuk lembaga politik seperti parpol atau organisasi-organisasi dari kekuatan civil society. Kedangkalan pemikiran kita terletak dalam kenyataan bahwa kita masih memahami demokrasi dalam kerangka bureaucratic polity seperti yang dipraktekkan rezim Orba, di mana suara rakyat dalam pilkada sebenarnya dipakai sekadar untuk 'meresmikan' birokrat menjadi pejabat politik melalui proses yang kelihatannya demokratis.

Kalau boleh saya catat, kita baru memiliki tiga pemilihan kepala daerah di NTT yang demokratis in sensu stricto (dalam arti tegas). Jadi tidak hanya prosesnya demokratis tetapi juga pilkada itu sudah menyentuh isi paham demokrasi (rakyat berkuasa), meski masih dengan segala keterbatasannya, yakni terpilihnya Aleks Longginus menjadi Bupati Sikka periode lalu, terpilihnya Simon Hayon menjadi Bupati Flotim 2004-2009 dan yang sekarang ini, terpilihnya Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT untuk periode 2008-2012. Beberapa suksesi kepala daerah selain itu, kalau saya tempatkan dalam kaca mata teori politik modern, sebenarnya kita hanya menjalankan legitimasi pejabat birokrasi pemerintahan untuk menjadi pejabat politik walikota dan bupati dalam bingkai demokrasi, seperti adanya konsep pemilihan kepala daerah sacara langsung oleh rakyat yang diusung oleh parpol atau gabungan parpol; seakan-akan paham demokrasi itu hanya menyangkut persoalan bagaimana suara atau keinginan rakyat disalurkan.

Mengapa birokratisme politik itu masih terjadi? Bukankah reformasi kita adalah reformasi total, yakni bukan saja kita melakukan reformasi politik melainkan juga reformasi birokrasi? Reformasi politik tidak akan membawa banyak perubahan yang positif bagi pembangunan politik yang demokratis tanpa kita melakukan reformasi birokrasi, karena reformasi kita lahir dari penyimpangan bureaucratic polity yang menyatukan birokrasi dan politik. Penyatuan itu tidak hanya melanggengkan kekuasaan rezim Orba tetapi juga memberikan keuntungan bagi birokrat di tingkat daerah. Para birokrat daerah meski mereka sadar bahwa mereka adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh negara untuk menjadi pelayan masyarakat, namun berkat kebijakan bureaucratic polity rezim Orba mereka memandang diri tidak sekadar birokrat tetapi juga politisi.

Aspek politik dari birokrasi inilah yang tidak didiskusikan dengan matang ketika reformasi dimulai. Seakan-akan persoalan bureaucratic polity hanya menyangkut politisasi birokrasi, sehingga yang harus dilakukan hanya kebijakan depolitisasi birokrasi dengan menarik Golkar dari birokrasi. Padahal praktek bureaucratic polity rezim Orba menyangkut tidak hanya politisasi birokrasi tetapi juga birokratisasi politik. Karena itu, untuk menjadikan mesin birokrasi dan mesin politik itu kembali bereksistensi seturut hakekatnya masing-masing, maka tidak cukup dengan kebijakan sekadar menarik politik dari tubuh birokrasi, melainkan kita harus memisahkan keduanya. Itu berarti, kita tidak hanya melakukan depolitisasi birokrasi melainkan juga debirokratisasi politik, yakni mencabut aspek kewibawaan birokrasi dari mesin politik sehingga mesin politik dalam proses merekrut pemimpin daerah betul-betul menggambarkan demokrasi kedaulatan rakyat. Tanpa debirokratisasi politik, maka pilkada adalah ritus politik baru atas nama demokrasi untuk meresmikan pejabat birokrasi menjadi pejabat politik gubernur, bupati dan walikota.

Pada titik ini patut kita catat atas terpilihnya Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT periode 2008-2012, bahwa pilkada propinsi sebagai ritus pengresmian birokrat menjadi pejabat politik berakhir. Terpilihnya seorang rakyat, Frans Lebu Raya, adalah simbol kebangkitan demokrasi kedaulatan rakyat di NTT. Dialah rakyat pertama dalam sejarah politik Propinsi NTT yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk menjadi pejabat politik gubernur. Saya mengutip apa yang penulis pernah diskusikan tiga tahun lalu mengenai tema yang sama melalui media Pos Kupang (18 Oktober 2005) di bawah judul "Birokrasi dan politik: Birokrasi menghambat politik" Bagian pertama dari dua tulisan): "Patut dicatat ialah PDI Perjuangan sebagai partai politik pertama yang melakukan politik partai. PDI Perjuangan mengangkat kader partainya, Frans Lebu Raya, menjadi Wakil Gubernur NTT. PDI Perjuangan dalam hal ini, mampu membongkar kultur politik yang birokratis di NTT, yang selama ini hanya beranggapan bahwa untuk menjadi gubernur atau wakil gubernur hanyalah kader-kader pejabat karier dari birokrasi." *

Dosen Unwira, sekarang kandidat Doktor Teori
Politik pada Universitas Muenchen-Jerman

Mengatasi Post Power Syndrome

Oleh : Herman Musakabe
POST power syndrome (disingkat PPS) adalah suatu sindrom pasca kekuasaan di mana seseorang mengalami perubahan status dari 'berkuasa' menjadi 'tidak berkuasa', dari keadaan powerfull menjadi powerless, dari seorang 'bos' menjadi 'orang biasa'. Perubahan ini oleh sebagian orang dapat dilalui dengan baik tanpa suatu hambatan yang berarti, tetapi sebagian orang tidak dapat melalui dengan baik sehingga menimbulkan gejala atau tanda-tanda ketidaknormalan tertentu pada emosi dan tindakan yang dapat menyebabkan gangguan baik fisik maupun psikis dalam diri yang bersangkutan.

Sebenarnya PPS adalah gejala biasa dan alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang karena faktor usia yang bertambah dan menyebabkan seseorang harus memasuki masa pensiun atau purnatugas. Masalahnya adalah ketidaksiapan sebagian orang secara fisik dan mental menghadapi PPS, terutama menyangkut beberapa faktor kehidupan. Faktor sosial ekonomi, penghasilan yang berkurang yaitu uang pensiun yang diterima tidak sebesar penghasilan waktu masih berdinas aktif. Padahal masih ada berbagai kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Sejumlah fasilitas dan kemudahan yang didapat selama berdinas aktif semuanya ditarik negara sehingga semua beban menjadi tanggungan sendiri. Aktivitas yang berubah/berhenti secara mendadak, dari banyak kegiatan (sibuk) menjadi menganggur, dari sering berkomunikasi dan berinteraksi dengan rekan kerja dan bawahan menjadi sendirian, menjadikan orang kesepian. Perubahan status sosial dari pejabat menjadi mantan pejabat dapat mengakibatkan timbulnya stres bagi sebagian yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Ibarat seorang yang berada di ruangan ber-AC/pendingin yang tiba-tiba keluar ruangan yang panas dan mengalami perubahan suhu secara drastis.

Dampak dari faktor-faktor di atas akan lebih besar bagi para pejabat pemerintahan atau pimpinan perusahaan karena kekuasaan yang dimilikinya, sehingga akibat yang ditanggung dari PPS pun menjadi lebih besar. PPS bisa menimpa siapa saja, bisa menimpa seorang mantan presiden, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR/DPRD atau seorang direktur perusahaan, karena kekuasaan dan fasilitas dinas ditarik dan jabatannya harus diserahkan kepada orang lain. Hal serupa bisa terjadi di semua profesi, termasuk di dunia olahraga. Para juara tinju dunia di AS yang disanjung-sanjung publik dan memiliki materi berkelimpahan, sebagian besar mengalami stres dan jatuh miskin setelah dikalahkan oleh petinju muda yang merebut gelarnya. Mereka tidak bisa menikmati ketenangan hidup di hari tuanya karena dililit hutang akibat gaya hidup yang boros dan tagihan pajak yang harus dilunasinya. Di Indonesia, banyak kisah-kisah atlit tempo doeloe dan para selebriti yang berjaya pada zamannya tetapi kini harus hidup menderita dengan hanya mengharapkan belas kasihan orang lain.

Semua dampak PPS pada hakikatnya merupakan rambu peringatan bahwa di dunia yang fana ini tidak ada yang abadi. Pangkat, jabatan, kekayaan dan popularitas hanyalah bersifat sementara. Setiap orang harus mengembalikan apa yang dimilikinya kepada Tuhan bila saatnya tiba. Walaupun PPS merupakan hal yang tidak mudah dilalui bagi orang yang pernah memegang kekuasaan, namun selalu ada upaya-upaya untuk mengatasinya atau minimal mengurangi dampak negatif PPS.

Beberapa Kiat Mengatasi PPS
Berdasarkan beberapa literatur dan pengalaman pribadi, ada beberapa cara untuk mengatasi PPS tersebut. Penulis ingin berbagi (sharing) pengalaman tentang cara-cara mengatasi PPS dengan tidak bermaksud menggurui, karena setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya. Masa pensiun seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang yang akan menjalaninya. Apalagi istilah di-'pensiun dini', PHK, atau terlibat kasus-kasus dugaan korupsi menjadi beban tersendiri pada akhir masa tugas dan purnatugas. Masa transisi yang lazim disebut Masa Persiapan Pensiun (MPP) seringkali diplesetkan menjadi 'mati pelan-pelan'.
Namun, ada beberapa orang yang mampu mengatasi PPS dengan baik dan mungkin bisa menjadi contoh bagi orang lain. Salah seorang perwira tinggi senior yang tetap sehat walaupun sudah berusia 90-an tahun adalah Letjen TNI (Purn) Kartijo. Beliau adalah salah seorang mantan Komandan Seskoad yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR. Setiap HUT Seskoad yang jatuh pada tanngal 25 Mei, semua mantan Danseskoad diundang dan Pak Kartijo tidak pernah absen. Padahal beberapa mantan Danseskoad yang lebih muda berhalangan hadir karena masalah kesehatan atau karena telah berpulang. Kalau ditanya mengenai resep hidup sehat dan umur panjang, Pak Kartijo selalu membagikan pengalamannya. "Jangan berhenti beraktivitas dan jangan biarkan otak berhenti berpikir. Biasakan sel-sel otak terus bekerja, bahkan dengan cara sederhana mengisi teka-teka silang (TTS) sekali pun. Hidup sederhana dan jangan ngoyo, olah raga jalan kaki serta rajin mendekatkan diri kepada Tuhan," ujarnya. Itulah Pak Kartijo, sosok yang sering dijadikan contoh bagi para perwira yang lebih muda. Memang sejak masih berdinas aktif di TNI, Pak Kartijo dikenal sebagai perwira yang hidupnya sederhana, bersih dan sangat berdisiplin.

Beberapa cara mengatasi PPS dapat disampaikan sebagai berikut ini. Pertama, ketika memasuki masa pensiun hadapilah dengan lapang dada dan sikap legawa. Anda harus merasa bersyukur kepada Tuhan, karena masih dapat mengakhiri tugas dengan baik dan memasuki masa pensiun. Ada masa datang dan ada masa pergi, begitu juga jabatan harus ditinggalkan pada waktunya untuk diserahkan kepada pengganti yang lebih muda. Penyesuaian diri dengan lingkungan baru sangat penting. Makin cepat Anda menyesuaikan diri, makin baik untuk mengatasi PPS. Tinggalkan masa lalu dan hadapi masa depan sebagai tempat pengabdian baru dengan segala tantangan baru pula.

Kedua, mencari aktivitas dan kegiatan untuk mengisi waktu luang yang banyak tersedia. Membina/mengurus keluarga dengan memberi perhatian lebih besar kepada para anggota keluarga. Memilih tempat berdomisili yang tepat juga penting, karena keberadaan keluarga, kerabat dan lingkungan yang mendukung merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi dampak PPS. Kadang-kadang beberapa kegiatan harus dicoba sebelum mendapatkan kegiatan yang pas/cocok untuk dijalani. Ada beberapa orang yang menjalani usaha/bisnis, kegiatan bidang politik, bidang rohani, melanjutkan belajar/kuliah, aktif di yayasan sosial, atau bekerja paruh waktu sesuai bakat atau profesi yang pernah dijalani. Semua kegiatan itu baik, asalkan positif dan tidak terlalu membebani diri dengan biaya atau beban pikiran di luar kemampuan. Penulis pernah mencoba mengikuti kegiatan di bidang politik, pengurus yayasan anti narkoba, mengikuti tim safari rohani (seminar, triduum devosi) bersama seorang romo moderator Marian Centre Indonesia (MCI) ke daerah-daerah, menjadi widyaiswara tamu di Lemhannas, menulis artikel di beberapa media massa dan menulis buku tentang kepemimpinan dan rohani. Di antara kegiatan tersebut yang masih tetap setia dijalani sampai sekarang adalah menulis artikel, menulis buku dan kegiatan rohani (mengembangkan Doa Rosario Hidup), sedangkan kegiatan lainnya sudah berangsur-angsur ditinggalkan. Dengan menulis, saya bisa berbagi pengalaman dengan orang lain dan tetap merasa berguna bagi sesama. Apalagi kegiatan menulis mengharuskan banyak membaca sebagai referensi dan acuan. Kegiatan apa pun tidak masalah, selama kegiatan itu positif dan Anda menyukainya serta mendapatkan kepuasan batin.
Ketiga, salah satu masalah yang sering dihadapi dalam masa pensiun adalah masalah kesehatan, karena seiring bertambahnya usia bertambah juga penyakit yang merongrong tubuh. Bapak Cosmas Batubara (mantan menteri) dalam sebuah perjalanan menyampaikan joke bahwa para manula punya penyakit '5 B', yaitu botak, beser (sering buang air kecil), buram (penglihatan berkurang), budek (pendengaran berkurang/tuli) dan bego (menjadi pelupa/bodoh). Menjaga kesehatan dengan makanan yang berimbang, istirahat cukup dan berolah raga sangat dianjurkan. Olah raga yang 'murah meriah' adalah berjalan kaki, jogging, senam atau bersepeda karena bisa dilakukan sewaktu-waktu. Selain berobat ke dokter, berbagai pengobatan alternatif bisa menjadi pilihan atau mengonsumsi obat-obatan herbal untuk menjaga kesehatan dan sebagainya. Jatuh sakit pada masa pensiun merupakan beban yang berat bagi si sakit dan keluarga, karena biaya yang dikeluarkan cukup besar, sementara sumber dana terbatas. Oleh sebab itu menjaga kesehatan secara preventif lebih penting daripada mengobati penyakit.

Keempat, masa pensiun adalah masa lebih mendekatkan diri dengan Tuhan sebagai investasi untuk kehidupan yang akan datang. Banyak mantan pejabat aktif di bidang rohani dan giat menjalankan ibadah agamanya pada masa pensiun. Mereka yang Muslim rajin menjalankan solat subuh setiap hari. Para manula merasa lebih sehat bangun pagi dan menjalankan ibadah, karena udara pagi hari lebih menyehatkan. Dalam buku terbaru saya berjudul 'Menuju Hidup Yang Lebih Ekaristis' (2008), saya menganjurkan agar umat Katolik lebih sering mengikuti perayaan ekaristi pada misa harian, selain yang diwajibkan pada hari Minggu. Mengikuti ekaristi menjadikan hidup lebih sehat secara rohani dan jasmani, karena Tuhan selalu membimbing hidup kita.

Kelima, masa pensiun dengan dampak PPS pada hakikatnya adalah buah/hasil dan rekapitulasi dari apa yang Anda tanam selama masih menjabat. Kalau Anda menanam hal-hal yang baik untuk sesama, maka Anda akan menuai kebaikan-kebaikan Tuhan melalui orang-orang di sekitar Anda. Tetapi bila Anda menanam keburukan, permusuhan, penyalahgunaan kekuasaan, intrik politik dan kesewenang-wenangan, maka Anda akan menuai akibatnya di hari tua. Sebagian orang mengalami depresi dan stres berat akibat beban mental yang harus dipikul karena harus berurusan dengan aparat penegak hukum, justru pada saat mereka tidak lagi memiliki kekuasaan. Alih-alih mendapatkan ketenangan pada masa pensiun, justru merasakan beban secara psikis dan ekonomis karena harus menghadapi masalah hukum yaitu dugaan penyalahgunaan kekuasaan dengan segala risikonya. Seperti kata pepatah lama : "Tangan mencencang, bahu memikul", itulah realitas hidup yang harus dihadapi.

Kesimpulannya, PPS adalah sindrom pasca kekuasaan yang tidak terelakkan bagi pejabat yang memiliki kekuasaan. Tergantung bagaimana seseorang menghadapinya, apakah dengan rasa bersyukur kepada Tuhan karena dapat mengakhiri tugas dengan baik, atau dengan rasa kecewa dan tidak legawa karena semua kekuasaan ditarik daripadanya. Sebaiknya PPS dihadapi dengan rasa bersyukur dan carilah kegiatan positif untuk mengisi waktu pensiun. Menjaga kesehatan, berolah raga teratur dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan sangat dianjurkan. Tidak ada yang abadi di dunia yang fana ini, semua jabatan, pangkat, kekayaan, popularitas, bahkan hidup kita akan berakhir dan kita harus menghadapinya dengan rasa bersyukur. Masa pensiun adalah masa yang sangat baik untuk lebih menginvestasikan perbuatan baik kepada sesama dan banyak menjalankan ibadat agama. Dengan demikian dampak PPS tidak akan terlalu dirasakan karena semua yang kita terima akan dikembalikan kepada-Nya pada saatnya. *
Gubernur NTT periode 1993 - 1998

300 Ton Rumput Laut Di Kirim Ke Luar Negeri

Laporan Novemy Leo
MAUMERE, PK-- Produksi 300 ton hasil panen rumput laut asal Kabaupten Sikka setiap bulan dikirim (ekspor) ke Amerika. Sementara hasil panen rumput laut kering setiap bulan mencapai 350-450 ton kering. Hasil panen ini diekspor ke luar negeri seperti Philipina, RRC, Singapura, Thailand dan Malaysia . Selebihnya dipasarkan secara lokal di Sikka.
Hasil panen rumput laut kering yang dikirim ke luar negeri diolah menjadi bahan dasar untuk pembuatan makanan, minuman termasuk untuk membuat bahan bakar minyak.Demikian Direktur UD Purnama, dr. Hendra Sudarmaji dan Kasubdin Sumber Hayati Keluatan dan Perikanan Kabupaten Sikka, Heribertus, saat ditemui Pos Kupang, di Maumere, Minggu (27/07/2008), terkait hasil produksi rumput laut di Sikka serta program Coremab.
Heribertus mengatakan, budidaya rumput laut di Sikka mulai dikembangkan tahun 2004. Dan hingga saat ini program Coremab sudah masuk pada 21 kecamatan di wilayah pesisir pantai utara maupun selatan Pulau Flores. "Hasil produksi rumput laut kering mencapai 350-450 ton setiap 40 hari sesuai jadwal panen. Rumput laut ini dijual Rp 10.000,00/kg sehingga total produksi sebesar Rp 3,5 miliar - Rp 4,5 miliar/empat puluh hari.
Jumlah ini cukup fantastil," tegas Heribertus.Ia menjelaskan, tahun 2007/2008, Kabupaten Sikka kembali menerima dana Coremab Rp 300 juta, yakni terdiri dari kegiatan fisik teknis Rp 270 juta, dan sisanya untuk kegitaan konsultasi. Pada thun 2008, Coremab bermitra dengan pengusaha UD Purnama-Maumere."Budidaya rumput laut dilakukan sebagai mata pencaharian alternatif warga setempat. Namun justru mata pencaharian alternatif ini mampu meningkatkan perekonomian masyarakat," jelasnya.
Darmaji menambahkan, tahun ini pihaknya mengembangkan rumput laut di wilayah selatan, di Desa Lela, Kolidetung dan di wilayah timur. Budidaya rumput laut mulai dari proses pembibitan, pengembangan sampai produksi. "Target produksi dua desa di selatan sebanyak 15 ton per 40 hari," kata DarmajiUntuk pemasaran, pengusaha rumput laut yang sudah berkiprah beberapa tahun di Sikka ini mengatakan, pangsa pasar di Philipina, China, Singapura, Thailand dan Malaysia .
Manfaat rumput laut, kata Darmaji, untuk bahan emulsi fire, yakni bahan pembuatan larutan menjadi homogen. Setelah itu, diolah di pabrik menjadi bahan dasar untuk 340 jenis bahan baik untuk bahan makanan, minuman, farmasi maupun kosmetik.
Untuk budidaya rumput laut setiap kepala keluarga mendapat 300 kg bibit yang dalam pengembangan pertama (3-4 minggu) mampu berproduksi 1.200 kg (300X4) dan untuk pengembangan II (3-4 minggu berikutnya) bisa berproduksi 4.800 kg (1.200X4). Jika satu kg rumput laut kering Rp 10 ribu maka petani bisa menerima Rp 4.800.000,00. "Mata pencahariaan alternatif ini sangat membantu perekonomian warga. Usaha ini akan dirintis pada desa pesisir pantai," tambahnya. (*)

Monday, July 07, 2008

Menanti Jalan Pembebasan

Oleh Hermin Pello, Frans Krowin, Hyeron Modo
ISRAEL, Mesir, dan NTT sama-sama gersang. Bedanya, petani kacang di Israel bisa beli mobil, di NTT tidak. Mengapa? Tanah Israel yang gersang itu bisa ditumbuhi aneka tanaman, seperti kacang-kacangan. Petaninya bekerja keras. Mereka membangun pipa- pipa air yang besar untuk mengairi tanaman pertanian. Seorang petani di sana (Israel) bisa memiliki berhektar-hektar lahan pertanian. Sebaliknya, di Mesir rakyatnya miskin karena mereka tidak mau bekerja keras.Ini kesaksian Christofel Liyanto, SE, salah satu pelaku usaha di Kota Kupang, ketika menghadiri diskusi terbatas bertajuk, "Membangun Ekonomi Lokal NTT," di Redaksi Pos Kupang, Rabu (18/6/2008). "Saya lihat penjual kacang di Israel bawa mobil. Walau gersang, tapi sejauh mata memandang ada macam-macam tanaman," tutur Christofel.Ketua Ikatan Sarjana Eknomi Indonesia (ISEI) NTT ini sengaja menceritakan tentang Israel karena kondisi wilayahnya hampir sama dengan NTT, gersang. Tetapi, mengapa masih banyak rakyat di NTT masuk kategori miskin sehingga mereka menerima bantuan langsung tunai (BLT) dan penerima beras untuk rakyat miskin (raskin)? "Ini karena motivasi dan etos kerja orang NTT masih rendah, banyak potensi sumber daya alam belum digarap optimal," katanya.Cerita Christofel sebenarnya mau mengingatkan kita bahwa kondisi NTT yang gersang bukan menjadi alasan untuk rakyatnya miskin. Keadaan bisa seperti di Israel jika kita memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi, serta didukung kebijakan pemerintah yang lebih terfokus pada pemberdayaan lahan pertanian yang ada. Ini yang harus kita pacu. Pemerintah harus serius memperhatikan etos kerja masyarakat di daerah ini. Pemerintah di tingkat propinsi harus membangun komitmen dengan pemerintah di kabupaten- kabupaten/kota di NTT untuk membuat suatu gebrakan membangun sektor pertanian dengan fokus pada satu sektor unggulan.Menurut Christofel, ISEI pernah menawarkan agenda kepada para paket calon gubernur/wakil gubernur saat mereka kampanye untuk melakukan dialog mengenai ekonomi NTT ke depan. Namun, agenda itu tidak bisa dilaksanakan karena para calon lebih tertarik membicarakan masalah di luar bidang ekonomi. Padahal, kata Christofel, sektor ekonomi menjadi salah satu tema yang sangat penting untuk didiskusikan.Terkait BLT dan pemberian raskin kepada rakyat miskin di NTT, Christofel menyarankan program pengetasan kemiskinan itu harus dievaluasi. Maksudnya, apakah gubernur/wakil gubernur baru nanti mampu meningkatkan (penerima BLT, Red) atau menghapus penerima BLT? Untuk lima tahun ke depan, mampukah gubernur/wagub mengurangi penerima BLT? Padahal siapapun yang menjadi gubernur selalu mempunyai program pengentasan kemiskinan. Gubernur NTT, Piet Tallo, mempunyai program Tiga Batu Tungku, salah satunya pengembangan ekonomi. Tetapi, kata Christofel,--bukan tidak menghargai beliau-- Pak Piet Tallo belum melakukan diskusi mengenai pemberdayaan ekonomi. "Mudah-mudahan gubernur baru nanti bisa, walaupun bukan berlatar belakang ekonomi, tapi setidak-tidaknya bidang ekonomi menempati skala prioritas utama. Bidang pendidikan dan kesehatan tentu tetap menjadi prioritas. Di bidang kesehatan kalau konsisten memberikan makanan (makanan tambahan, Red), maka anak busung lapar akan menjadi normal. Tetapi kalau dilepas, anak yang sudah normal akan menjadi busung lapar lagi," tegasnya.Pokok permasalahannya, menurut Christofel, adalah memberikan pekerjaan kepada orangtuanya. "Sopir saya anaknya empat orang, tapi tidak ada yang busung lapar karena memiliki penghasilan. Seharusnya kita konsentrasi pada masalah ekonomi. Apalagi pemerintah pusat sudah ada anggaran untuk gakin dan untuk sekolah. Pemerintah kita, dengan APBD yang ada, fokuskan pada masalah ekonomi, bukan dengan program macam-macam. Saya kasih contoh, di depan kantor gubernur, ada lahan kosong, orang menanam sayur-sayuran. Saya pikir, salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan mereka adalah beri mereka mesin pompa air sehingga mereka tidak susah-susah angkat air," kata Christofel.
Perlu POAC
Direktur Kepatutan dan Manajemen Risiko Bank NTT, Helena Beatrix Parera, mengatakan, yang perlu dibangun adalah orang-orang yang bisa memotivasi, memberi masukan sehingga ada gunanya untuk memberikan masukan bagi pemerintah yang baru. Jadi, untuk mengembangkan potensi unggulan NTT harus ada konsep yang global, yaitu konsep tentang bagimana menggerakkan dan membangun ekonomi lokal. Tetapi ada beberapa hal yang kurang diamati, yakni mengevaluasi secara berkesinambungan, mengontrol dan menghimpun data.Menurut Helena, pola untuk membangun ekonomi itu sangat sederhana dan sudah ada. Hal sederhana yang diperlukan untuk membangun ekonomi adalah planing, organizing, actuality dan control (POAC). Pola POAC ini, katanya, kalau dilakukan secara berkesinambungan, terkontrol, terorganisir, secara tuntas dan detail, bisa menghasilkan sesuatu sesuai rencana.Di dalam perencanaan (planing), pemerintah membutuhkan data dan sekarang saja kita lihat, data dari BKKBN dan data sensus tentang orang miskin, berbeda. Solusinya, pemerintah harus memfasilitasi sebuah lembaga independen, menggandeng biro ekonomi, tapi kerjanya independen untuk menjadi mitra kerja, misalnya, LSM yang punya kapasitas untuk membangun ekonomi. Jadi, ada lembaga atau badan yang pemerintah manfaatkan sebagai pusat data atau yang menghimpun dana sehingga dia bisa membuat suatu perencanaan untuk satu masa jabatan dengan data yang akurat. Ada data tapi tidak tersentralisasi, ada data tapi sepotong-sepotong. Setelah mengumpulkan data, bisa buat perencanaan anggaran untuk satu tahun. Terkait organisasi, kata Helena, pemerintah perlu membentuk semacam badan yang bekerja independen untuk mengkaji data. Pemetaan data yang sudah terjadi mengenai halangan atau faktor penyebab kegagalan. Contohnya, bantuan BUMN yang dulu misalnya Pertamina sebelum kampanye, bantuan kecil yang diserahkan lewat kami (Bank NTT) cukup banyak. Tapi masyarakat berpikir bahwa itu dana kampanye, jadi biar saja. Jadi, faktor kegagalan itu harus dipetakan desa per desa karena setiap desa berbeda-beda masalahnya. Setelah itu dicari solusinya? Di sini pemerintah perlu kerja sama dengan banyak pihak.Menurut Helena, falsafah untuk mengentaskan kemiskinan adalah ikan dan kail. Ikan itu untuk membantu orang miskin pada saat insidentil, misalnya saat terjadi bencana. BLT itu ikan, membantu orang miskin pada saat bencana atau pada saat BBM naik, ada raskin. Tapi itu tidak boleh berkesinambungan karena ikan tidak boleh terus menjadi ikan, tapi harus meningkat menjadi kail. Dan, setelah itu dikasih perahu. Itu bagus, kalau diterapkan di sini tetapi bagaimana equity, itu harus banyak komponen, ada pihak lain misalnya swasta. "Orang NTT yang pintar banyak, hanya perlu satu pola yang terpadu untuk bisa rangkul mereka. Inisiatif itu harus dari pemerintah dan DPRD," ujarnya.Alauddin Kamaluddin, pelaku usaha kecil menengah di Kota Kupang mengatakan, BLT yang dikucurkan pemerintah kurang mendidik. Karena yang datang ambil BLT pakai celana jeans, punya hand phone (HP) kamera dan pakai sepeda motor. Pertanyaannya, apakah orang itu tergolong orang miskin?
Harus Ada Pembebasan
Pengamat ekonomi dari Undana Kupang, Dr. Fred Benu, mengatakan, forum diskusi ini tidak menghasilkan barang baru bagi masyarakat khususnya bagi pemerintah. Kita sadar itu. Sadar, ada semacam gap antara kesadaran berpikir dengan realitas perilaku pengambil kebijakan. Pemerintah bukan tidak pahami ini, apa yang harus dilakukan? Ini berarti , kata Fred, fokus permasalahan bukan hanya soal pencerahan. Pencerahan sudah dilakukan di banyak forum diskusi seperti ini. Fokus tidak boleh berhenti pada pencerahan, tapi harus ada pembebasan, bahkan pertobatan. Tidak bisa mengharapkan dari entitas individu. Pencerahan seperti ini tidak hanya sekadar menghasilkan suatu pemikiran yang konstruktif, yang hanya disampaikan pada publik, dan kita hanya mendapat pencerahan, tanpa ada pembebasan. Menurut Fred, ini berarti ada tuntutan lebih bagi kita semua, bahwa pencerahan saja tidak cukup, sudah terlalu banyak yang ditulis Pos Kupang, Tidak cukup cerah kan kita. Pencerahan saja tidak cukup karena ada gap. Karena itu, harus ada pembebasan, Nah, bagaimana pembebasan ini. "Kita main pada konstruksi yang lebih lanjut, daripada hanya sekadar pencerahan. Saya melihat ini hanya main pada mikro, bagaimana di tingkat makro. Bukankah kita semua sudah paham dan pemerintah juga sudah paham apa sebenarnya sektor yang bisa diandalkan untuk mendorong kinerja perekonomian daerah ini?" katanya. Itu berarti, demikian Fred, harus ada sektor tertentu yang menjadi perhatian utama pemerintah. Maksudnya, membangun bidang pertanian misalnya, pemerintah harus fokus pada satu komoditi unggulan yang punya prospek ke depan. Bahwa kalau orang ini berpikir begini berarti harus ada suatu kebijakan terobosan khusus pada sektor itu sehingga mendorong dia untuk berkembang, bukan sekadar tahu, tapi bagaimana dia berbuat. Kalau pada tingkat makro NTT misalnya, saya sering katakan, selalu terjadi semacam paradoks. Kalau kita mau mendorong perekonomian daerah yang masih mengharapkan pada sektor primer, tidak bisa hanya pada tingkat hulu saja, harus terus sampai ke hilir. Kalau hanya urus ternak, kapanpun kita tidak akan maju. Kalau urus ternak hanya urus dagingnya saja, produksinya saja, tidak bisa. Tapi harus ada lanjutannya, apa di hilirnya. Itu baru bisa. "Saya sering katakan dalam forum diskusi bahwa perekonomian di NTT potensinya besar. Ibarat sebuah mobil, kapasitas enginenya cukup besar, yaitu di sektor primer misalnya ternak, perikanan, pertanian dan lainnya. Cuma susahnya, pemerintah sebagai driver tidak injak ekselelator untuk memaksa engine ini lari cepat, dia turun dan dia dorong saja. Kapan baru bisa terjadi akselerasi perekonomian, tidak ada," ceritanya.Kalau pemerintah sadar, katanya, sektor primer di pertanian, misalnya, peternakan masuk pertanian, itu yang digagas, itu yang dipacu. Kita pencet akselerasi biar lari, seperti yang Pak Alauddin katakan, akselerasinya kulit-kulit sapi, tidak perlu dibawa tapi poles dia,. Bangun industri, itu kan tipe agroindustri. Bukan industri skala besar, bukan pabrik semen. Bukan berarti kita anti industri besar, tapi ada satu sektor khusus yang menampung sebagian besar pelaku ekonomi rakyat di daerah ini. Kita tahu, basis ekonomi kita masih pada sektor pertanian, tapi yang saya katakan, driver-nya turun dan dorong karena akselelator primer itu bukan sektor pertanian. Menurutnya, sektor primer NTT adalah pertanian, tapi pertumbuhannnya berkisar dua persen hingga empat persen per tahun. Sedangkan sektor sekunder tumbuh antara empat persen sampail lima persen per tahun, dan sektor jasa bertumbuh antara tujuh persen sampai 10 persen. Namun, jasa di sini lebih didominasi oleh jasa pemerintahan.Fred mengatakan, dari data yang ada, basis ekonomi primer NTT di sektor pertanian sudah mencapai hasil pertumbuhan yang tidak bisa diharapkan lagi untuk mendongkrak peningkatan kesejahteraan rakyat dan pendapatan daerah. Ini karena banyak orang yang bermain di sektor tersebut, khususnya dalam kepemilikan lahan. Khusus ekonomi berbasis lahan, menurut Fred, produktivitas per kapita sudah turun. Kalau dulu kontribusi sektor ekonomi berbasis lahan (pertanian) mencapai 60 persen terhadap totalitas ekonomi regional NTT, tetapi sekarang hanya sekitar 41 persen sampai 42 persen. Kontribusi sudah di take over atau diambil alih oleh sektor lainnya karena itu harus dibuat rasionalisasi. Solusinya, kata Fred, menarik sebagian tekanan dari ekonomi berbasis lahan sehingga pertumbuhannya kembali dari tumbuh dengan kecepatan menurun menjadi tumbuh dengan kecepatan meningkat. "Saya percaya dan sudah sering ditulis, pemerintah tahu itu, tapi kita harus bahas bersama lagi. Bukan soal pencerahan lagi, tapi harus ada pembebasan pada tingkat pemerintahan. Bagaimana suatu soal benar-benar pemerintah paham, lalu bagaimana implementasinya, benar-benar terjadi atau tidak. Basis primer lain, kebijakan implementasi pemerintah lain, kita mau bergerak bagaimana. Bagaimana menjadi ikan besar kalau tidak ada back- up dari pemerintah? Jadi, untuk menggerakkan ekonomi rakyat NTT harus ada pembebasan di tingkat pemerintahan," tegas Fred. Kita menanti jalan pembebasan dari pemimpin baru NTT