Sunday, June 08, 2008

Perjuangan Untuk Mendapatkan dan Mempertahankan Kekuasaan

Oleh: Dr. Eben Nuban Timo
BICARA tentang politik identik dengan membahas tentang perjuangan kuasa-kuasa untuk berkuasa. Hal ini disebabkan karena politik berhubungan dengan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kekuasaan, yakni bagaimana mendapatkan, mempertahankan serta menggunakan kekuasaan. Julia L Suryakusuma, seorang pengamat politik Indonesia menulis : "Kekuasaan (power) merupakan konsep sentral dalam teori politik karena politik berhubungan dengan kehidupan bersama manusia di dalam polis (kota/negara), maka kita dapat katakan bahwa kekuasan merupakan eksponen utama dan kehidupan bersama manusia dalam negara atau kota.Hubungan logis yang kita buat di atas dapat dipertanggungjawabkan jika kita mengamati kehidupan bersama manusia dalam masyarakat. Di sana kekuasaan dan persaingan untuk menjadi yang berkuasa dengan menggunakan aneka macam manufer atau intrik-intrik yang licik merupakan realitas sehari-hari. Realita ini tidak hanya kita lihat dalam masyarakat masa kini yang hidup dalam kota-kota modern. Dalam masyarakat tradisional juga dikenal kisah-kisah di sekitar perebutan atau usaha pelanggengan kepustakaan yang dapat kita pakai untuk menyingkapkan sepak terjang para pendahulu kita dalam memperebutkan kekuasaan.Jadi kalau kita bicara tentang pendidikan politik, artinya kita masuk dalam sebuah kajian yang berhubungan dengan seni memperoleh, mempertahankan serta mendayagunakan kekuasaan. Itu juga berarti kita tidak dapat berbicara tentang kekuasaan lepas dari budaya dan etika. Yang kami maksudkan dengan budaya ialah "bagaimana kekuasaan itu disosialisasikan" dan mengenai etika ialah apa pendasaran teologis dari pelaksanaan kuasa di dalam komunitas manusia yang adalah homo religious.Mengingat analisis kita tentang kekuasaan kita lakukan dari perspektif Kristen, maka mau tidak mau kita akan menyoroti pokok-pokok tadi (bagaimana memperoleh, mempertahankan dan menerapkan kekuasaan) dari sudut pandang Iman Kristen. Itu berarti percakapan kita tentang pendidikan politik tidak bersifat netral. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, kita akan menganalisa kekuasaan itu secara etis.Kekuasaan memang selalu cenderung korup. Ada banyak godaan di dalam kekuasaan. Meskipun begitu semua orang menginginkannya, termasuk juga orang Kristen dan lebih khusus lagi para pendeta dan pastor. Realita dalam masyarakat mengatakan bahwa kita tidak bisa menghindar dari soal kekuasaan. Untuk membangun satu komunitas kita membutuhkan kekuasaan (kewibawaan). Kekuasaan merupakan hal yang tidak terhindarkan. Apa yang bisa kita buat sebagai orang Kristen, khususnya rohaniawan Kristen ialah masuk ke dalam proses politik (kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kekuasaan secara konstruktif). Maksud saya mendapatkan, mempertahankan dan menggunakan kekuasaan secara sopan, benar dan bertanggung jawabUntuk itu saya akan awali percakapan kita dengan dua cerita. Pertama tentang lomba lari antara kelinci dan penyu. Suatu waktu seekor kelinci bertemu penyu. Melihat cara penyu berjalan yang begitu lambat si kelinci mencolok-colok dia. Tidak terima diperolek demikian si penyu menantang kelinci untuk adu kecepatan dalam berlari. Tantangan itu diterima kelinci. Dia berpikir tidak mungkin penyu menang. Menanti hari lomba tiba si penyu menghubungi rekan-rekannya. Mereka merundingkan strategi untuk memenangkan perlombaan. Penyu menempatkan banyak rekannya di semak-semak sepanjang rute yang mereka tempuh. Mereka sepakat untuk penyu yang berada di depan posisi kelinci harus menjawab: "Aku di sini, di depanmu kalau kelinci bertanya tentang posisi penyu. Selain itu si penyu juga menggalang cukup banyak dana untuk membayar banyak juri dan panitia penyelenggara. Semacam uang tutup mulut melihat kelicikan si penyu. Si kelinci tidak melakukan persiapan apa-apa karena di sangat percaya diri akan menang.Waktu hari H perlombaan tiba, kelinci dan penyu berdiri di garis start. Saat aba-aba dimulai kelinci berjalan santai. Penyu segera menghilang dalam semak-semak dan tumpukan daun yang ada di sisi jalan. Setelah berjalan agak lama si kelinci bertanya, "Hai penyu, di mana engkau sekarang?" Seekor penyu di depan menjawab, "Aku di sini, beberapa meter di depanmu." Si kelinci kaget. Ia menambah kecepatan berlari. "Di mana kau sekarang, hai penyu?""Di sini, beberapa meter di depanmu."Kelinci berlari makin kencang. Dia bertanya lagi. Dia tidak dapat percaya karena suara penyu yang dia dengar ada beberapa meter di depannya. Dengan seluruh tenaga yang ada kelinci berlari sekencang-kencangnya. Tetapi dia tetap ketinggalan beberapa langkah dari penyu. Tinggal beberapa meter dari garis finis si kelinci kaget bukan main karena melihat penyu tadi sudah merangkak memasuki titik akhir. Penonton bertepuk tangan. Penyu keluar sebagai pemenang lomba lari. Berulang-ulang si kelinci protes. Tetapi tidak digubris oleh siapapun. Ternyata para juri dan panitia telah menerima suap dari penyu. Ini cerita pertama.Kisah kedua adalah tentang perlombaan tikus dan sapi. Cerita ini saya kutip dari buku CS Song, sebuah cerita rakyat Cina. Dewata yang diserahi tugas mencari 12 binatang untuk zodiac, telah menempatkan naga, ular, harimau dan kelinci dalam urutan masing-masing yang lebih besar. Waktu sapi mendengar tuntutan-tuntutan tikus, ia menggoyangkan tanduknya sambil berseru, "Semua orang tahu bahwa aku, sapi, amat besar dan luar biasa kuat. Bagaimana mungkin seekor tikus yang beratnya hanya beberapa ons, berani menantang aku? Sungguh konyol."Tetapi tikus tidak menyerah begitu saja terhadap sapi yang mencoba menyingkirkannya dengan cemooh bercampur ancaman. Ia pun berkata, semua orang menyombongkan ukuran badan dan kemampuannya. Itu bukan ukuran. Kita harus tunduk kepada penilaian orang banyak. Memang, aku hanyalah seekor tikus kecil dan lemah. Tetapi hari ini aku menantangmu!Tentunya terlintas dalam pikiran dewata bahwa kata-kata tikus tersebut mengandung kebenaran. Lalu dewata pun memutuskan: Memang tikus tidaklah sebesar sapi, tetapi karena tikus tidak mengakuinya, maka kita harus mendengar keputusan orang banyak. Hanya itulah cara yang paling adil. Pikirkanlah baik-baik, dan segeralah keluar dan dengarlah bagaimana keputusan orang banyak.Sang tikus segera mempersiapkan diri dan berhasil melipat-gandakan ukuran badannya dalam beberapa hari. Si sapi sama sekali tidak peduli, karena ia sudah seratus kali lebih besar dari tikus. Lalu sapi dan tikus pergi ke kota. "Tengoklah! Belum pernah kulihat tikus sebesar ini! Luar biasa besarnya tikus itu!" Demikianlah sejak keduanya meninggalkan rumah hingga mereka kembali, mereka tidak henti-hentinya mendengar teriakan-teriakan kagum akan ukuran tubuh tikus yang luar biasa, tapi tak seorang pun memperhatikan sang sapi, karena setiap hari orang-orang melihat sapi, namun belum pernah mereka melihat tikus yang demikian besar. Keputusan orang banyak pun menjadi jelas. Tikus memang lebih dari biasa besarnya.Sapi yang bodoh itu telah masuk perangkap tikus, tetapi ia tidak insyaf telah tertipu. Ia hanya berpendapat bahwa orang banyak itu tidak mempunyai mata. Karena kalah maka ia kehilangan wibawa dan ia harus memberi tempat lebih dahulu kepada tikus. Sejak itu tikus menempati ururan terdahulu dalam zodiac Cina.Kekuasaan Sebagai Persoalan EtikaDua kisah ini memperhadapkan kepada kita hal-hal mengenai bagaimana memperoleh, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan. Dalam dua kisah ini penilaian orang banyak dijadikan sebagai dasar atau pemberi legitimasi kekuasaan. Di sini kita berhadapan dengan prinsip yang secara mutatis mudandis dapat kita sebut prinsip demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Cerita yang pertama membeberkan kepada kita cara-cara yang licik (kelicikan) dan penuh intrik dan perbuatan culas dalam merebut kekuasaan. Si penyu memberdaya kelinci dan para penonton. Ia menang, memperoleh kekuasaan secara tidak pantas. Cerita kedua memperlihatkan kecerdikan seekor tikus untuk mempengaruhi opini publik. Ia merebut kekuasaan dengan cara-cara yang mengagumkan.Dua cerita di atas mengajak kita untuk berpikir tentang cara memperoleh, mempertahankan da memanfaatkan kekuasaan. Kaum yang secara fisik dan karena faktor-faktor lahiriah (penyu dan tikus) tidak mungkin memperoleh kekuasaan oleh penilaian publik justru diberi mandat untuk berkuasa. Sebaliknya mereka (kelinci dan sapi) yang di atas kertas sudah terbukti unggul dari penyu dan tikus justu kalah bersaing untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasilan penyu dan tikus terletak pada kecerdikan mereka mempengaruhi opini publik. Sayangnya, jalan yang ditempuh penyu penuh kelicikan, sementara yang strategi yang diambil tikus penuh dengan pesona. Ternyata, kapan saja kekuasaan dilepaskan dari etika maka ia akan menjadi jahat. Sebaliknya, kalau kekuasaan dikaitkan dengan etika, hasilnya baik.Kita juga bisa belajar sesuatu tentang kekuasaan dari cerita ini. Kekuasaan ternyata bukan sesuatu yang statis. Politik itu licin. Perjuangan ke arah kekuasaan punya seni. Ada yang berusaha memperoleh kekuasaan dengan caya yang keji, menipu dan memperdaya publik dengan berbagai janji palsu, atau juga menghambur-hamburkan uang. Tetapi ada juga yang berjuang ke arah itu dengan terhormat. Mereka tidak menebar janji yang muluk-muluk atau menempuh cara yang licik, melainkan berusaha memaksimalkan potensi diri yang ada pada mereka.Dua cara ini akan memiliki dampak yang besar dalam masa pemerintahan jika mereka berhasil memperoleh kekuasaan. Pepatah kuno berkata : seribu langkah hari esok ditentukan oleh langkah pertama hari ini. Kalau kita sudah memulai dengan sebuah kelicikan pola itu akan terus dipakai di kemudian hari.Keputusan hari ini berdampak besar ke depanSeribu langkah hari esok ditentukan oleh langkah pertama hari ini. Ini juga yang patut kita pertimbangkan dengan matang sebelum masuk ke bilik suara tanggal 14 Juni nanti. Untuk membayangkan akibatnya, saya angkat sebuah fabel dari Alkitab. Ceritanya begini (Hakim-Hakim 9:1-15).Pada suatu hari pohon-pohon bingung untuk memilih siapa pemimpin di antara mereka. Untuk mengadakan pilkada rasanya persiapan terlalu cepat dan tidak matang. Karena panitia yang mengurus pilkada dicurigai tidak netral atau independen. Nyatanya, kandidat pasangan yang diharapkan membawa perubahan justru berubah-ubah. Pilkada makin mendesak karena jadwal sudah dekat.Pikir punya pikir, sampailah pada kesempatan untuk diadakan saja semi-pilkada, yakni mengambil suara aklamasi. Calon-calon pemimpin mulai ditunjuk. Itu berarti masuk golongan terdaftar. Ada yang ditunjuk karena mau bayar, ada juga yang masuk daftar karena dibayar.Setelah fase ini selesai diteruskan dengan pungutan suara kesanggupan dan mereka yang terdaftar tadi. Wakil dari pohon-pohon mendatangi pohon zaitun. Jadilah raja atas kami, tetapi jawaban zaitun membuat kaget semua hadirin: "Masakan aku harus meninggalkan minyakku yang dipakai untuk menghormati Allah dan manusia, dan pergi melayang-layang di atas pohon-pohon sebagai raja? Malu ah!". Politik penuh dengan kompromi. Pohon zaitun tidak mau bikin konsesi atau sepakat dengan kompromi-kompromi. Pohon Zaitun tetap bertekad untuk melayani Allah dan manusia. Ia tidak ingin mengorbankan Allah atau manusia, atau kedua-duanya demi kekuasaan.Para wakil pohon masih berharap, semoga kandidat kedua yang masuk daftar bersedia. Mereka datang ke pohon ara. Tetapi jawabannya yang mereka terima mirip dengan yang pertama: "Masakan aku harus meninggalkan manisanku dan buah-buahku yang baik, dan pergi melayang-layang di atas pohon-pohon di hutan ini sebagai raja? Ogah ah ogah. Pohon Ara ada untuk memperkaya hidup di hutan. Ia tahu bahwa pohon yang hanya memperkaya diri sendiri biasanya menindas pohon lain (Yak. 2:6). Dia menolak tawaran itu.Tim pemunggutan suara berharap-harap cemas ketika mendatangi kandidat ketiga, pohon anggur. Jaringan pohon ini sangat luas karena sulur-sulurnya yang berfungsi sebagai kaki tangan banyak sekali. Tapi pohon anggur menjawab: "Mungkinkah aku tinggalkan air buah anggurku yang memberi kesukaan hati Allah dan manusia itu dan melayang-layang saja kerjanya? Jangan saya, yang lain saja!" Pohon anggur tidak mau jadi pohon yang bicaranya melayang-layang. Ada undang-undang, tetapi kalau bicara tentang orang banyak selalu melayang-layang saja.Langkah para pemunggut suara jadi goyah. Tiga kandidat kuat menolak pencalonan dengan alasan yang serupa tapi tak sama. Perhitungan mereka meleset. Ada sedikit kericuhan dalam tubuh wakil pohon-pohon itu. Mereka saling menyalahkan karena kurang perhitungan atau pendekatan pribadi yang salah. Ada pula yang mengerutu dan memaki calon-calon yang menolak sebagai baru belajar atau sok saleh.Tahapan pilkda toh harus diteruskan, meskipun terjadi debat dan kericuhan di dalam. Direkayasa aturan untuk berubah dari semi pilkada menjadi mufakat untuk calon tunggal. Perhitungannya begini. Si calon tunggal pasti bersedia, meskipun akan berpura-pura menolak. Siapakah calon tunggal itu? Mereka sepakat setelah musyawarah yang penuh rekayasa menetapkan semak duri. Waktu mufakat juga diatur agar pendekatannya rapih, dengan gaya sopan, pakai skrening (test kesehatan), pemaparan visi, dst.Tepat sekali. Semak duri memberi jawaban yang penuh diplomatis. "Jika kamu sungguh-sungguh mau mengurapi aku sebagai raja atas kamu, datanglah berlindung di bawah naunganku. Tetapi jika tidak, biarlah api keluar dari semak duri dan memakan habis pohon-pohon atas yang di gunung-gunung. "Wuii ngeri sekali jawaban itu. Artinya mereka yang mendukung akan diberi job, sedangkan yang tidak dukung pasti dinonjobkan.Fabel ini lahir dari konteks perebuatan kursi. Yotamlah yang mengarang cerita itu. Ia sedang melakukan kritik kepada Abimelek. Keduanya adalah anak Yerubaal (Gideon). Gideon memiliki 70 orang anak. Abimelek salah seorang anaknya yang beribukan perempuan Sikhem. Ketika akan terjadi pergantian pemimpin di Israel, Abimelek mengorganisasir kampanye dengan melakukan pendekatan etnis. Ia berkampanye di depan orang satu suku, marga ibunya begini."Manakah yang lebih baik bagimu: 70 orang memerintah kamu, yakni anak-anak Yerubaal atau satu orang? Dan ingat juga bahwa aku darah dagingmu. Kampanye Abimelek disambut tepuk-tangan gempita. Mereka sepakat, anak suku sendiri yang harus memimpin. Merasa ada dukungan, Abimelek mulai bertindak sebagai penguasa. Semua anak Yerubaal (saudaranya sendir) dibantai. Sedih, padahal itu saudara sendiri. Ini yang namanya politik. Jeruk makan jeruk, bicara melayang-layang. Ada seorang yang melarikan diri. Yotam namanya. Ia mungkin meminta visi perlindungan politik di negeri tetangga. Yotam inilah yang mengkritik Abimelek, tetapi juga keluguan orang Sikhem.Yotam membuktikan kebenaran statement tadi seribu langkah hari esok ditentukan oleh langkah pertama hari ini. Kursi Abimelek ternyata panas. Karena mulai dengan proses perjaringan, pendaftaran, kampanye dan pemunggutan suara yang terkesan "lho kok gitu" tiga tahun saja ia duduk di kursi. Selanjutnya terjadi perang saudara, bukan hanya melawan Gaal, bahkan Abimelek sendiri memerangi warga Kota Sikhem. Itulah hasil memilih menurut emosi, bukan secara cerdas. Abimelek sendiri akhirnya mati bunuh diri atau lebih tepat dibunuh seorang perempuan (Hak. 9:53).Fabel ini mengandung banyak pelajaran bagi kita untuk menjadi pemilih yang cerdas dan menolak memilih karena emosi, sebab pemilih yang cerdas menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Sebaliknya, memilih menurut emosi akan melahirkan pemimpin tirani. *

No comments: