Sunday, April 13, 2008

Poskup 110408

Akta Kelahiran Hak Pertama Anak
(Belajar dari Sikka)
Oleh : Fary Dj Franscis
Sekretaris LPA NTT, bekerja di Institute of Cross-Timor for Common Property Resources Development (InCrEaSe)

SETIAP tahun ada sekitar 1,5 juta atau 2/3 bayi yang lahir di Indonesia tanpa dicatatkan kelahirannya dan tidak memiliki akta kelahiran, tetapi setiap kelahiran dibebani hutang US$ 250. Indonesia menjadi salah satu dari 19 negara di dunia yang terburuk pencatatan kelahirannya.
Sementara di Propinsi Nusa Tenggara Timur sendiri hanya 14,59 % jumlah penduduk yang memiliki akta kelahiran di antaranya hanya 21% anak tercatat kelahirannya.
Demikian catatan kecil dari diskusi seminar model pencatatan kelahiran yang digagas Plan Indonesia, UNICEF dan WVI bekerja sama dengan Pemda Sikka pada pertengahan Juni 2007.
Akta kelahiran merupakan bukti otentik dan berkekuatan hukum atas identitas (nama, umur, asal-usul, jenis kelamin) serta sebagai syarat bukti kewarganegaraan terhadap suatu individu. Atau dengan kata lain, akta merupakan awal personalitas hukum dan status keperdataan seseorang secara universal.
Jika demikian, maka terdapat 85, 41% penduduk dan di antaranya sekitar 79 % anak di Propinsi NTT tidak jelas status kewargenegaraannya dan tidak diakui status keperdataannya secara universal (stateless).
Selain memberikan status kewarganegaraan, sebenarnya akta kelahiran juga dapat menghindari terjadinya manipulasi identitas yang dapat melemahkan masyarakat sebagai warga negara bila melakukan pembelaan/perlindungan hukum bagi yang diragukan identitasnya yang berkaitan dengan kasus-kasus tenaga kerja migran, anak-anak yang diperdagangkan atau anak-anak yang dipekerjakan dalam bisnis seks dan pornografi.
Padahal bukan kemauan mereka dilahirkan di NTT. Mungkin orangtuanya tidak mampu membayar dan mengurus akta, yang mungkin buta huruf. Mungkin juga orang tuanya tidak jelas asal usulnya, atau yang lahir di pengungsian. Pertanyaannya, siapa yang bertanggung jawab dengan banyaknya status masyarakat NTT yang "stateless" itu?
Mari kita tengok kembali apa kata Kovenan Internasional mengenai hak-hak sipil dan politik yang diberlakukan sejak tahun 1976 bahwa "setiap anak akan dicatat segera setelah ia dilahirkan dan memperoleh nama" dan "setiap anak memiliki hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan". Setelah itu Konvensi Hak Anak Tahun 1989 Pasal 7: "anak akan dicatat segera setelah kelahirannya (oleh negara) dan sejak dilahirkan ia berhak untuk memperoleh nama dan kewarganegaraan." Tidak hanya itu. Indonesia sendiri melalui Undang-Undang No 23/ 2003 tentang Perlindungan Anak, pasal (28) menegaskan "Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung jawab pemerintah, agar setiap keluarga yang memerlukan mudah mengurus pembuatan akta, pemerintah harus memberikan pelayanan sampai ke tingkat desa."Perda Tidak CukupDi Propinsi Nusa Tenggara Timur, sampai dengan Juni 2007 sudah ada 11 (sebelas) kabupaten yang telah menerbitkan perda tentang pembebasan pembuatan akta kelahiran (gratis).
Kesebelas kabupaten itu antara lain :
1) Kabupaten Sumba Barat, Perda No 12/2003,
2) Kabupaten Sikka, Perda No 14/2004,
3) Kabupaten Flores Timur, Perda No 3/2005 ,
4) Kota Kupang, Perda No 9/2006
5) Kabupaten Ngada, Perda No 2/2006,
6) Kabupaten Rote Ndao, Perda No 2/2006,
7) Kabupaten Belu, Perda No 12/2006,
8) Kabupaten Kupang, Perda No 4/2006.
9) Kabupaten Alor, Perda No 19/2006,
10) Kabupaten Sumba Timur, Perda No 16/200610)
11) Kabupaten TTS, Perda No 5/2007.
Pertanyaannya adalah, apakah dengan dikeluarkannya perda tersebut secara otomatis juga akan meningkatkan jumlah anak yang tercatat kemudian diberikan hak pertamanya dengan pemberian akta?
Mungkin sebagian kita setuju mengatakan "tidak" jika melihat fakta dan kondisi aktual seperti persoalan yang dihadapi, misalnya, tidak jelasnya kegunaan akta kelahiran bagi anak di mana selama ini hanya diperlukan untuk kepentingan yang sangat terbatas seperti mengurus paspor, melamar sebagai PNS/TNI/POLRI dan menikah.
Di samping itu berkaitan dengan prosedur dan pelayanan yang berbelit di mana terlampau banyak persyaratan administrasi yang sulit dipenuhi oleh keluarga.
Dan yang paling terasa bagi masyarakat di NTT adalah hambatan fisik/geografis dimana pelayanan pencatatan kelahiran hanya dapat dilakukan di Kantor Catatan Sipil (Dinas Kependudukan) yang terletak di ibu kota kabupaten (Sentralistik).
Memang sejak UU 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan disahkan pada tanggal 29 Desember 2006, barulah bisa dikatakan Indonesia "merdeka" sejak kurang lebih 61 (enam puluh satu) tahun pelaksanaan pencatatan sipil yang didasarkan pada staatbaad peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang sangat diskriminatif dan tidak mewajibkan pribumi mencatatkan kelahirannya.
Namun karena durasi waktu yang begitu lama mengakibatkan petugas pencatatan sipil dalam melaksanakan pencatatan hanya berdasarkan pengalaman pragmatis merupakan persoalan tersendiri dalam pelaksanaannya saat ini.
Terlepas dari persoalan tersebut, keberhasilan pembenahan sistem pencatatan kelahiran di Kabupaten Sikka bisa sebagai salah satu contoh kasus tipologi daerah tertinggal di mana pencapaian pencatatan kelahiran bagi anak yang baru lahir sebelum dikeluarkannya perda bebas biaya akta kelahiran paling hanya mencapai 3 % lebih dari kelahiran hidup setiap tahunnya, kemudian mengalami lonjakan yang berarti pada tahun 2005 setelah disahkan perda, terjadi kenaikan menjadi 25,60% dari 6.171 anak lahir hidup kemudian mengalami kenaikan spektakuler pada tahun 2006 menjadi 72,5% (Dinas BKCKP tahun 2007).
Mengamati fakta dan realita, sebenarnya Perda 14/2004 hanya sebagai pemicu. Ungkapan hati yang jujur Bupati Sikka, Drs. Alex Longginus, bahwa sebagai ujung tombak dan yang paling menentukan pencapaian (main actor) keberhasilan pencacatan kelahiran di Kabupaten Sikka adalah para bidan desa, PLKB dan kader posyandu yang berada di Polindes yang langsung berhubungan dengan masyarakat. Memang sebelum pelaksanaan perda 14/2004 para bides, PLKB dan kader posyandu terlebih dulu dilatih untuk menerapkan prosedur pencatatan kelahiran sederhana sesuai SK Bupati Sikka No 93/2004 melalui tiga pintu pencatatan bagi masyarakat di pedesaan, yaitu:
  1. Setelah lahir melalui polindes, ibu bides mengisi form pelaporan & pencatatan kelahiran berdasarkan data yang diberikan orang tua anak, kemudian diteruskan;
  2. Bides menyerahkan form yang telah diisi dan berkas persyaratan kepada Bidan Sub Koordinator Puskesmas, setelah itu
  3. dijemput oleh petugas BKCKP dengan melakukan pencatatan & penerbitan kutipan akte kelahiran sesuai mekanisme berlaku dan selanjutnya dikembalikan ke puskesmas untuk diteruskan ke polindes.
  4. Setelah itu diberikan kepada orang tua anak.
Kegiatan pelatihan ini didukung oleh Plan Indonesia di tiga kecamatan (Paga, Mego, Talibura) sebagai kecamatan awal. Pada Januari 2005 diberlakukan prosedur pencatatan kelahiran sederhana dan kemudian dilanjutkan di delapan kecamatan lainnya pada November 2005 yang didukung oleh UNICEF.
Tentunya masih banyak komponen lain yang berperan. Namun pesan utama yang ingin saya sampaikan di sini adalah kita jangan cepat puas dan berhenti hanya dengan keluarnya perda pembebasan biaya akte kelahiran. Karena dari pengalaman terlihat bahwa banyak kebupaten yang telah mengeluarkan perda tetapi belum menunjukkan kenaikan secara signifikan angka pencatatan kelahiran. Kemudian, strategi apa yang bisa kita pelajari dari kabupaten Sikka pasca dikeluarkan perda? Paling sedikit empat pembelajaran yang saya tangkap :
  1. adanya restrukturisasi pelayanan pencatatan kelahiran sampai ke desa dan penyederhanaan prosedur dan persyaratan,
  2. adanya penyediaan dukungan teknis dan administratif untuk meningkatkan pelayanan melalui pelatihan petugas pencatat dan petugas pembantu pencatat desa dan penyediaan formulir untuk pendaftaran dan
  3. adanya kerja sama dan pengembangan kemampuan bagi bidan, kader posyandu dan petugas pencatat di gereja melalui orientasi dan peningkatan pemahaman pentingnya akta kelahiran dan
  4. membentuk dan mengembangkan tim advokasi akta kelahiran sebagai tim pemantau implementasi hasil-hasil dialog kebijakan dan mengevaluasi hasil cakupan pencatatan kelahiran.

Tidak heran memang bila Kabupaten Sikka menjadi tempat belajar model pencatatan kelahiran bagi pemerintah daerah, nasional maupun dunia internasional. Namun tantangan terus ada di depan mengingat syarat pelayanan pencatatan kelahiran mesti dilakukan secara kontinyu, melalui struktur pelayanan yang permanen, bersifat memaksa (compulsory) dan menjangkau semua anak dan semua wilayah (universal). Yang penting bukanlah aksi yang bersifat verbal belaka, misalnya "bersama kita bisa" yang sekadar slogan atau retorika, tetapi mesti dijawab dengan langkah-langkah kongkret walaupun secara perlahan atau bertahap. *

No comments: