Tuesday, December 30, 2008

50 Tahun NTT dan Orang Miskin
(Dari Bedah dan Pameran Buku Penerbit Lamalera)


DESEMBER dapat dikatakan sebagai bulan refleksi di mana ada lima perayaan penting bagi masyarakat NTT. Tanggal 1 Desember peringatan Hari AIDS sedunia, 10 Desember Hari HAM sedunia, 20 Desember HUT NTT, 22 Desember Hari Ibu dan 25 Desember, Hari Natal. Lima momentum ini selalu berhubungan dengan orang kecil dan tertindas. Orang kecil, dalam bahasa politik disebut dengan rakyat yang oleh Dr. Fred Benu dalam bedah buku Kampung, Bangsa, Dunia, 50 Tahun NTT karya P. Paul Budi Kleden, SVD ingin memberi batasan jelas, siapa itu rakyat? Apakah termasuk pejabat birokrat, penguasa, dan pemilik modal? Ataukah rakyat adalah mereka yang kecil, miskin dan tertindas?

Saya memandang buku P. Paul Budi Kleden, SVD dalam konteks politik identitas. Kampung, sebagai wujud otonomi daerah dengan geliat primordialismenya, dunia sebagai wujud globalisasi yang menghegemoni dan di tengahnya ada bangsa yang mengalami problem nasionalisme. Bahasa yang lain dari kampung adalah rakyat kecil sebagai titik sampai dari perjalanan peradaban hingga kini. Pengertian lainnya, bangsa dan dunia saat ini juga sudah menjadi satu kampung besar (global village) dalam proses interaksinya.

Dalam bedah buku yang diselenggarakan Penerbit Lamalera Jakarta, lembaga yang dilahirkan anak tanah NTT di perantauan, dihadirkan pula artis kawakan Happy Salma sebagai penulis buku Telaga Fatamorgana (kumpulan cerpen). Happy yang sudah berkecukupan dengan glamouritas dunia selebriti kepada para peserta mengakui tetap memiliki waktu untuk merenung dan melihat realitas kehidupan orang kecil sebagai cermin untuk melihat dirinya sendiri; apakah tersisa ruang baginya untuk sebentuk kepedulian? Saya sebagai peserta dalam kesempatan itu mengharapkan Happy tetap konsisten berkarya sastra karena sastra dalam banyak sejarah politik mampu meruntuhkan regim-regim kekuasaan yang ototiter, menindas dan tidak adil. Menyisakan ruang bathin bagi orang kecil adalah problem mesin moderen.

Keberpihakan kepada orang kecil dan miskin sekali lagi mesti dipantulkan sebagaimana P. Paul Budi Keleden, SVD mengatakan, kita jangan pernah lelah untuk bicara dan berteriak tentang ketidakadilan meskipun seperti menubruk tembok tebal ketidakpedulian. Kekuatan bicara dan teriak dapat dihadirkan melalui kekuatan kata dalam tulisan. Tulisan adalah suara. Suara yang kita lantangkan bisa sebagai penyanyi solo, duet, trio, kwartet ataupun koor, tetapi terpenting adalah lagu rakyat, nyanyian rakyat. "Tulisan juga adalah perjuangan hidup," kata Happy Salma. NTT mestinya juga patut berbangga kepada seorang Mezra Pellandou, perempuan cerpenis dan kritikus sastra. Hari Ibu, 22 Desember patut kita persembahkan untuk perempuan-perempuan hebat. P. Paul Budi Kleden, SVD menaruh harapan kepada kaum muda NTT untuk terus memperjuangkan perubahan dan pembaharuan, membela kepentingan kaum tertindas marhaen, memberikan pencerahan politik nilai di tengah geliat politik materi yang berdaya rusak tinggi.

Apa sebab? Salah satu gejala yang ditangkap dengan cermat oleh P. Paul Budi Kleden yakni munculnya budaya politik mayoritas modal (Paul Budi Kleden, 2008), di mana politik dikontrol oleh kekuatan mayoritas modal (kaum beruang) atau dalam bahasa Pius Rengka, SH, M.Si, demokrasi sudah dibajak oleh para pemilik modal.

Kalau demokrasi sudah terbajak, jalan kepada penciptaan kesejahteran umum (bonum commune) akan semakin sulit tergapai. Demokrasi yang terbajak tidak menyediakan ruang yang cukup bagi partisipasi kritis dan kemandirian rakyat. Sebaliknya demokrasi terbajak akan terus membiarkan proses akumulasi modal hanya bagi segelintir 'politisi' kapitalis dalam mana mereka dapat membeli kesadaran kritis rakyat untuk hanya berkemampuan election (memilih) tetapi tidak berkemampuan selection (menyeleksi kandidat). Akibatnya, in put dan process politik menyisakan out put politik berupa aktor dan produk kebijakan yang terus menghisap kepentingan rakyat. Akan menjadi keprihatinan kita bersama manakala tidak ada para pihak yang sanggup melindungi kepentingan rakyat, apalagi jika para pihak yang lain turut termanipulasi dalam model politik terbajak tersebut.

Alhasil, politik tidak berkorelasi sama sekali dengan kesejahteraan umum sebagaimana idealnya.Suatu koreksi teoritis dapat menjadi acuan kepada usaha memerangi kemiskinan sebagai tugas politik dan demokrasi. Orang mesti mengenal sebab kemiskinan untuk memerangi kemiskinan. Pdt. Eben Nuba Timo (dalam Anak Matahari, 2007) mengutip pendapat Clodovis Boff tentang tiga kategori orang miskin dalam masyarakat kapitalis, yakni, pertama : mereka yang diasingkan dari hak-hak memperoleh kesejahteraan ekonomi, kedua : mereka yang dicabut dan diasingkan dari budaya, tradisi dan kepercayaan asli, dan ketiga : mereka yang dibuang jauh dari pusat-pusat perkembangan dan pembangunan. Cara untuk mengatasi kemiskinan masa kini haruslah cara struktural karena kemiskinan lahir sebagai buah dari sistem yang memiskinkan. Pada titik ini, rakyat harus dijadikan subyek yang sungguh partisipatif bukan sebagai obyek yang termobilisasi dan termanipulasi.

Kegiatan bedah buku dan pameran buku Penerbit Lamalera dapat kita pandang sebagai satu suara dan teriakan untuk menyumbang kepada pengetahuan, kesadaran kritis dan perubahaan moral publik dalam tujuannya membuat para pihak serius mengangkat martabat NTT sebagai daerah bersaing, maju dan berdaya tawar. Apresiasi bagi Penerbit Lamalera sebagai salah satu simbol bahwa NTT bisa. Saat ini masih sekitar 27% rakyat NTT miskin, 80 % petani, 79 % pendidikan di bawah SD dan penyumbang terbesar PAD justeru dari bidang kesehatan (RS) yang berarti bahwa semiskin-miskinnya masyarakat NTT dan dalam keadaan sakit, mereka masih memberikan kontribusi besar bagi pendapat daerah. Maka tugas berikutnya bagi para aktor pembuat kebijakan publik untuk segera menerapkan filosofi Anggur Merah (Anggaran untuk rakyat menuju sejahtera) dalam produk APBD Provinsi NTT dan secara bertahap, pasti dan meyakinkan, mulai merubah kecenderungan inefisiensi pembangunan kepada efektivitas pembangunan yang ditandai oleh :

  1. Menentukan sektor prioritas.
  2. Membuat perencanaan yang partisipatif (sesuai kebutuhan rakyat sehingga tidak ada silpa).
  3. Porsi anggaran yang lebih besar bagi belanja rakyat.
  4. Anggaran yang semakin kecil (baca : sesuai dengan kebutuhan rasional dan proporsional) bagi aparatur.
  5. Mengurangi perda retributif dan memperbanyak perda pemberdayaan rakyat.
  6. Menekan kebocoran dan korupsi dana APBD melalui pengawasan ketat dan perbaikan mekanisme tender.
  7. Akan menurunnya angka buta huruf, angka kematian bayi, angka kemiskinan dan naiknya HDI (Human Development Index).
Dalam aspek lain kita melihat keseriusan duet Gubernur-Wakil Gubernur, Frans-Esthon untuk membangun kedaulatan lokal (baca : kampung) berupa kebijakan hari konsumsi pangan lokal. Kebijakan konsumsi pangan lokal kongruen dengan buku P Paulu Budi Kleden dalam suatu setting politik identitas bahwa kampung masih ada dan harus tegak di tengah hingar bingar globalisasi yang hendak meruntuhkan nasionalisme (baca : bangsa). Frans-Esthon juga berhasil menggagas kerja sama Sunda Kecil sebagai salah satu cara tepat untuk membangun regionalisasi ekonomi guna mengatasi laju pasar bebas. Sunda kecil dapat kita pandang sebagai usaha sebuah kampung regional untuk saling menopang dan mengisi kekurangan dalam prinsip subsidiaritas. Bali dapat membantu mendorong pergerakan ekonomi rakyat NTT melalui interaksi pariwisata dan budaya. Bali juga dapat menjadi tujuan 'ekspor' hasil-hasil laut dan hasil pangan NTT untuk konsumsi para turis asing dan domestik. Upaya regionalisasi ekonomi ini tentu bukan euforia romantisme masa lalu tetapi diikuti perubahan etos dan implementatif dalam berbagai bentuk kerja sama. Marilah belajar dari Eropa sebagai salah satu raksasa ekonomi yang membangun Uni Eropa untuk caranya membentengi kepentingan nasional bangsa-bangsa Eropa dari penghisapan pasar bebas.

Kita harap jajaran birokrasi mulai memberi contoh dengan menghargai makanan-manakan lokal dalam setiap kegiatan kepemerintahan seperti snack-snack makanan lokal, sajian makan siang dari makanan lokal, sajian makan malam dari makanan lokal serta budaya makan dengan mengurangi frekwensi kunjungan ke KFC ataupun jenis-jenis makanan cepat saji lainnya. Tidak ada yang sulit luar biasa untuk tidak kita lakukan. NTT tinggal membutuhkan gerakan moral pengabdian karena bagaimanapun, ekonomi dan politik sebagai dua jalan menuju kesejahteraan umum adalah soal aktivitas manusia. Soal aktivitas manusia adalah soal ideologi, pengetahuan, ketrampilan, prinsip, pilihan, kepentingan dan moral yang menggerakkan. Yesus Kristus Sang Raja saja begitu sederhana, merakyat dan berpihak, apalagi kita umatnya? Selamat Damai Natal 2008 dan Bahagia Tahun Baru 2009. *

Oleh Emanuel Kolfidus
Pemerhati sosial, tinggal di Kupang.

Wednesday, September 17, 2008

Mengembalikan Produk Unggulan Flobamorata

Oleh Herman Musakabe

DALAM perjalanan safari rohani awal Agustus 2008 lalu di daratan Flores, saya sempat mengamati kegiatan rakyat di tengah-tengah alam pedesaan. Saya dapat merasakan gerak kehidupan menggeliat di masyarakat pedesaan yang serba sederhana. Wajah-wajah polos rakyat yang berjuang untuk menopang perekonomian keluarganya sangat kontras dibandingkan hiruk pikuk berita di media massa tentang korupsi puluhan miliar rupiah dana BI yang melibatkan wakil rakyat di DPR. Bendera-bendera parpol yang berkibar di sepanjang jalan raya ingin merebut simpati rakyat menjelang Pemilu 2009, semuanya campur baur dengan poster-poster pilkada lokal yang sedang diselenggarakan di daerah. Padahal, bagi rakyat kecil, siapa pun yang dipilih secara demokratis menjadi presiden atau kepala daerah, tidak terlalu menjadi masalah, yang penting ia bisa membuat kehidupan mereka menjadi lebih sejahtera.

Saya membayangkan NTT, atau Flobamorata, sebagai sebuah bahtera yang mengarungi Samudera Nusantara. Bahtera Flobamorata ini telah memilih nakhoda baru dalam pilkada langsung 2008 yaitu pasangan Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay, atau akrab disebut Fren, sebagai gubernur dan wakil gubernur. Kepada Fren inilah rakyat telah mempercayakan kemudi Bahtera Flobamorata untuk berlayar menuju hari esok yang lebih baik. Nakhoda Fren telah mencanangkan visi mereka sebagai navigasi ke arah mana bahtera akan dilayarkan dan misi yang harus dilakukan untuk mewujudkan visi tersebut. Saya tahu bahwa tugas Nakhoda Fren cukup berat karena saya pun pernah diberi kepercayaan untuk menakhodai bahtera ini. Nakhoda Fren masih harus memilih para awak kapal yang jujur dan sanggup bekerja keras, menambal kebocoran di beberapa badan kapal dan mengawasi agar BBM kapal serta bekal logistik penumpang tidak disalahgunakan oknum kapal yang korup, sebelum melakukan pelayaran panjangnya.

Produk Unggulan
Di tengah perjalanan antara Ruteng dan Bajawa sampai Mbai, Kabupaten Nagekeo, saya melihat hamparan hutan bambu membentang di sepanjang jalan. Pokok-pokok bambu yang tumbuh subur itu hanya sebagian kecil dipakai untuk bahan bangunan rumah, dinding, kandang ternak atau pagar halaman. Selebihnya dibiarkan tumbuh menghutan. Padahal industri sumpit di perkotaan dan perabotan rumah tangga sangat memerlukan bahan baku bambu yang akhir-akhir ini sudah semakin langka. Pokok-pokok bambu sepanjang jalan yang memiliki nilai ekonomi itu belum dimanfaatkan maksimal untuk kesejahteraan rakyat. Dalam era otonomi daerah, peran dan peluang pemerintah daerah seharusnya lebih besar dalam menjalankan desentralisasi ekonomi di daerah dalam rangka mendukung ekonomi nasional.

Sepanjang perjalanan, kendaraan kami sering terhambat oleh truk-truk besar yang berjalan lambat di depan kami. Sius, si pengemudi, bercerita kepada saya bahwa truk-truk besar di depan kami sedang memuat pisang hasil panen masyarakat dari kebun pisang di sepanjang jalan. Saya gembira mendengar itu, tetapi kegembiraanku hanya sesaat setelah saya diberi tahu bahwa satu tandan pisang dijual hanya seharga 8 sampai 9 ribu rupiah. Pisang bertruk-truk itu dibawa ke Bali dan Jawa dan di sana diolah menjadi keripik yang dibungkus dalam kemasan dan diberi label menarik. Sebagian pisang itu juga dipakai untuk sarana upacara adat di Bali. Pisang yang dibeli dengan harga murah itu telah disulap menjadi makanan ringan oleh tangan-tangan terampil di kota menjadi keripik pisang yang dijual kembali di kedai-kedai. Saya berharap ada program pemprop dan para bupati yang melatih SDM lokal meningkatkan keterampilan masyarakat untuk memberi nilai tambah pada produk lokal.

Sesampai di Moni, Sius menawarkan kepada saya untuk mendaki puncak Kelimutu sambil bernostalgia melihat Danau Tiga Warna. Saya setuju dengan tawaran itu, sambil berolahraga mencoba ketahanan fisik di usia senja ini. Perjalanan kami cukup lancar dan menyenangkan di udara pagi yang sejuk. Banyak wisatawan lokal dan mancanegara menikmati indahnya pemandangan Danau Kelimutu. Beberapa wisatawan lokal dari Jawa Barat yang berjalan di depan kami mengagumi keindahan Danau Kelimutu yang menurut mereka lebih indah dari Obyek Wisata Kawah Tangkuban Perahu di Bandung. Sekilas terbersit kebanggaan di hatiku. Tetapi saya menyayangkan kurangnya sarana umum seperti toilet yang memadai bagi wisatawan yang memerlukan. Beberapa toilet usang yang ada sudah tidak terawat dan kotor sehingga tidak layak pakai lagi. Beberapa anak tangga pendakian yang rusak dibiarkan saja, padahal dapat mengganggu perjalanan wisatawan. Tidak ada penjual cenderamata khas yang dapat dibeli wisatawan sebagai kenang-kenangan. Obyek wisata yang begitu menakjubkan itu seharusnya dilengkapi fasilitas umum yang lebih baik dan menjadi perhatian instansi terkait.

Bahtera Flobamorata adalah sebuah wadah kemajemukan yang unik. Di dalamnya ada Pulau Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, Alor dan Lembata yang memiliki keunggulan masing-masing. Perairan NTT kaya akan ikannya. Kain tenun ikat NTT indah dan beraneka ragam, tetapi perlu diurus hak patennya. Di Pulau Sumba ada padang savana yang luas dan kuda-kuda Sumba yang gagah. Acara pasola dan lomba pacuan kuda yang diadakan sebagai agenda tahunan, promosinya belum begitu meluas. Kuda-kuda Sumba yang terkenal dan pemandangan padang savana yang luas itu bisa dijadikan obyek pariwisata yang menarik. Sumba juga dikenal dengan ternak sapi dan kerbaunya, tetapi belum membuat rakyatnya sejahtera.

Pulau Timor dikenal dengan penghasil sapi untuk diekspor ke Pulau Jawa. Bahkan di Kupang dulu ada pabrik pengalengan daging sapi yang terkenal dan hasilnya dikirim ke Belanda, Jerman dan Australia. Kini jumlah ternak sapi sudah jauh berkurang dan kualitasnya menurun. Sebuah tulisan di Kompas (14/7/08) berjudul : Berharap kepada Gubernur terpilih, menyuarakan seorang peternak sapi Simon Henuk (64) agar Fren mengembalikan Timor sebagai gudang ternak sapi. Simon berharap pemerintah daerah mengadakan bibit ternak sapi unggul, pengadaan obat-obatan untuk menanggulangi hama ternak dan memperbaiki sistem paronisasi. Harapan Simon adalah juga harapan para peternak dan rakyat NTT. Timor juga merupakan penghasil kayu cendana di masa lalu, tetapi kini sudah sulit ditemukan. Masih ada harapan untuk mengembalikan kayu cendana sebagai produk unggulan dengan gerakan penanaman massal dan pengaturan perdagangannya yang lebih menguntungkan rakyat. Selain itu masalah kekeringan yang selalu melanda NTT merupakan tantangan tersendiri bagi Fren untuk memprogramkan pengadaan air bersih untuk kebutuhan sepanjang tahun.

Di Pulau Flores dan Alor terhampar hutan kemiri yang luas sebagai tanaman perdagangan yang bernilai ekonomi. Ada kakao dan jambu/kacang mete yang menjadi andalan masyarakat serta pisang beranga dan ubi Nuabosi. Harian Kompas (30/8/08) memuat berita berjudul : Indonesia Bisa Menjadi Eksportir Kakao Terbesar di Dunia. Indonesia berpeluang menjadi pengekspor kakao nomor satu dunia asalkan dapat mengatasi dua masalah utama, yaitu penyediaan bibit unggul dan penggunaan pupuk alam. Saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga dunia setelah Ghana dan Pantai Gading. Saya berharap nakhoda Fren bisa meningkatkan penanaman kakao dan meningkatkan kualitasnya menyusul Pemprop Sulawesi Tengah yang telah menandatangani MoU dengan Menristek RI untuk meningkatkan tanaman kakao, beberapa waktu lalu.

Kembali saya menapaki perjalanan di Nagekeo, kabupaten baru yang sedang menjalani pilkada langsung untuk memilih pemimpinnya. Dahulu, Bupati Ngada (waktu itu dijabat Nani Aoh) saya tugaskan untuk merancang pemindahan Ibu kota Kabupaten Ngada dari Bajawa ke Mbai. Hal itu sejalan dengan pembentukan Kapet Mbai yang sudah disetujui pemerintah pusat. Segala upaya sudah dilakukan termasuk pembangunan sarana prasarana untuk pembentukan kota yang baru, serta percobaan pendaratan dan penerbangan pesawat Casa milik TNI-AL di lapangan terbang 'Surabaya Dua'. Tetapi tampaknya pemindahan ibu kota mustahil dilakukan waktu itu. Kini, setelah 14 tahun berlalu, terjawab sudah bahwa segala upaya yang telah dilakukan tidak sia-sia. Calon Ibu kota Ngada yang telah dipersiapkan di Mbai kini menjadi Ibu kota Kabupaten Nagekeo. Bupati Nagekeo terpilih mempunyai tugas melanjutkan pembangunan Kota Mbai yang pernah dirintis dulu termasuk melanjutkan pembangunan Kapet Mbai dengan mengembangkan potensi sumber daya alamnya yang beragam.

Misi Mengembangkan Produk Unggulan
Saya baca salah satu program Fren adalah mengembangkan produk unggulan yang ada di setiap pulau/daerah. Kalau program itu bisa diwujudkan akan membawa perbaikan pada kesejahteraan rakyat. Tetapi program itu harus dilakukan secara sinergis, bahu membahu antara pemerintah daerah, dunia usaha dan seluruh rakyat NTT. Misi itu harus didukung oleh seluruh lapisan masyarakat.

Pertama, Pemprop NTT dan pemkab/pemkot menjadikan program mengembangkan produk unggulan daerahnya sebagai program prioritas untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah daerah sebagai motivator dan fasilitator mencanangkan gerakan penanaman massal tanaman unggul, menyediakan bibit unggul, obat-obatan anti hama, mengadakan bibit ternak unggul dan menyediakan sarana prasarana untuk kemudahan pelaksanaannya. Saya membayangkan alangkah baiknya Dana Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah pusat dapat dialihkan untuk program unggulan ini atau dijadikan sebagai program padat karya untuk penanaman massal. Pemda mengadakan berbagai pelatihan keterampilan bagi kelompok masyarakat dan menyediakan tenaga penyuluh serta tenaga pendamping yang didukung dana APBD/APBN.

Kedua, para pengusaha dilibatkan dalam program ini sebagai pemodal untuk menggerakkan inti-inti usaha dan membeli hasil-hasil panen rakyat dengan harga yang pantas. Jangan sampai petani dirugikan oleh ulah tengkulak/pengijon. Pemda mengawasi agar keterlibatan pengusaha dalam program ini dapat memberi nilai tambah bagi kedua belah pihak, yaitu pengusaha sebagai pemodal dan rakyat sebagai subyek pelaksana pembangunan.
Ketiga, seluruh lapisan masyarakat dilibatkan dalam program mengembangkan produk unggulan ini. Rakyat dimotivasi untuk bekerja keras mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Kebun-kebun sekolah digalakkan lagi sebagai kegiatan eksta kurikuler bagi anak didik. Kalau pada pilkada lalu Fren berkampanye untuk memenangkan suara rakyat, maka kini saatnya Fren berkampanye untuk mengembalikan produk unggulan daerah masing-masing. Kembalikan Timor sebagai gudang sapi. Flores sebagai lumbung beras, kakao dan jambu mete. Sumba sebagai gudang sapi dan kuda. Alor sebagai pulau kemiri. NTT sebagai lumbung jagung dan gudang sapi. Perairan NTT sebagai penghasil ikan. Jadikan tenun ikat busana kebanggaan NTT dan sebagainya.

Dalam perjalanan pulang dari safari saya membayangkan bahwa usaha para pemimpin NTT dan rakyatnya tidak akan berhasil tanpa penyertaan Allah. Tanpa Allah, usaha manusia akan sia-sia. Saya teringat seorang sahabat yang memiliki moto hidup yang indah diambil dari Kitab Suci. "Dengan diri kami sendiri kami tidak sanggup memperhitungkan sesuatu seolah-olah pekerjaan kami sendiri; tidak, kesanggupan kami adalah pekerjaan Allah" (2 Korintus 3 : 5 ). Dengan usaha yang sungguh-sungguh seraya memohon bimbingan dan penyertaan Allah, kita akan berhasil.

Akhirnya, terima kasih buat pengemudi Sius, Andi dan Jarot, Romo Bene Bensi serta para bupati yang telah membantu melancarkan perjalanan safari saya. Flobamorata-Imanuel! *

Gubernur NTT Periode 1993 - 1998

Monday, September 08, 2008

Solusi Pengembangan Ekonomi Pedesaan

Oleh: AA Ola

MISKIN, rasa-rasanya rangkaian huruf-huruf yang membentuk kata ini masih sulit untuk dipisahkan dari kehidupan hampir sebagian besar masyarakat kita. Kita harus berani mengakui realita ini, karena pengakuan sudah merupakan modal sosial dalam rangka pengentasan kemiskinan. Tanpa ada pengakuan, maka sudah pasti tidak ada keinginan untuk mengatasinya.
Mengapa kemiskinan itu masih begitu sulit diretas? Menurut hemat penulis, salah satu penyebabnya karena sistem perekonomian yang masih timpang. Kita masih sangat berorientasi pada masalah pertumbuhan ekonomi, yang tidak melihat tingkat perkembangan perkonomian secara mikro seperti perkembangan pendapatan perkapita penduduk. Kita lebih cenderung melihat perkembangan perekonomian secara makro.
Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya akumulasi kapital pada orang atau golongan tertentu yang jumlahnya sangat sedikit jika dibandingkan dengan sebagian besar masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.
Reformasi sebenarnya merupakan momen penyadaran akan ketimpangan tersebut, namun pada kenyataannya pergerakan perekonomian kita belum banyak menyentuh persoalan hakiki dari masyarakat miskin itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena masyarakat sendiri belum sepenuhnya diberi kepercayaan untuk menata perekonomian sendiri.
Persoalan rendahnya nilai jual komoditi masyarakat menjadi bukti realita ini. Secara logika yang memiliki baranglah yang menentukan harga barang. Namun pada kenyataannya yang terjadi sebaliknya, pembeli yang menentukan harga barang. Ketergantungan masyarakat terhadap pemilik modal sangat tinggi, sementara di lain pihak intervensi pemerintah terhadap mekanisme pasar untuk sementara kalangan masih dianggap tabu. Bagaimana meretasnya? Badan Usaha Milik Desa salah satu solusinya.
Badan Usaha Milik Desa (atau disingkat BUMDes) merupakan badan usaha yang dikelola oleh desa dan berbadan hukum. Pemerintah desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Pembentukan Badan Usaha Milik Desa ditetapkan dengan peraturan desa.
Penulis yakin bahwa akan ada nada pesimistis ketika gagasan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dikemukakan. Pihak yang pesimis ini berasumsi bahwa jangankan mengembangkan BUMDes, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saja banyak yang bermasalah. Badan Usaha Milik Desa? Tentu saja pemikiran demikian ada benarnya mengingat masih banyak badan usaha pemerintah di tingkat kabupaten, propinsi bahkan di tingkat nasional yang bermasalah sehingga pengembangan BUMDes juga kelak akan mengalami permasalahan yang sama. Namun satu hal yang dilupakan bahwa asumsi demikian belum tentu benar, toh permasalahan desa berbeda dengan permasalahan di tingkat kabupaten, propinsi dan pusat.

Permodalan
Permodalan Badan Usaha Milik Desa dapat berasal dari pemerintah desa, tabungan masyarakat, bantuan pemerintah, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota, pinjaman, atau penyertaan modal pihak lain atau kerja sama bagi hasil atas dasar saling menguntungkan.

Dengan modal tersebut BUMDes dapat membiayai berbagai usahanya antara lain,
  1. Pelayanan jasa yang meliputi : simpan-pinjam, perkreditan, angkutan darat dan air, listrik desa dan lain-lain sejenisnya.
  2. Penyaluran 9 (sembilan) bahan pokok masyarakat desa.
  3. Perdagangan sarana dan hasil pertanian, yang meliputi hasil bumi, pertanian tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan dan agrobisnis.
  4. Industri kecil dan kerajinan rakyat.
  5. Kegiatan perekonomian lainnya yang dibutuhkan oleh warga desa dan mampu meningkatkan nilai tambah bagi masyarakat.

Pada titik ini peran BUMDes sangat strategis mulai dari proses pra produksi, produksi sampai ke pasca produksi. Kondisi yang terjadi selama ini, proses pra produksi dan produksi sudah mendapat banyak sentuhan, namun pasca produksi, masyarakat masih dibiarkan sendiri dalam memasarkan komoditinya. Hal ini membuka peluang terjadinya market pressure yang bahkan menjurus ke kanibalisme pasar. Dan sudah dipastikan masyarakat akan berada pada posisi yang ditekan dan menjadi korban para kanibalis.
Melalui BUMDes semua komoditi masyarakat dibeli dengan harga yang pantas. Pada titik ini peran pemerintah dalam hal ini dinas perdagangan atau instansi lain yang memiliki fungsi sejenis, memfasilitasi BUMDes untuk memberikan informasi harga pasar dan menyiapkan akses pasar.
Manfaat yang diperoleh dari mekanisme yang dibangun ini adalah, pertama, nilai jual komoditi masyarakat semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan pendapatan masyarakat makin tinggi, sehingga di samping dipakai untuk biaya konsumsi, masih ada saving yang bisa dipakai untuk biaya kesehatan dan pendidikan serta untuk pengembangan usaha keluarga. Kedua, menetralkan harga pasar. Para pemilik modal tidak dapat seenak perut mematok harga komoditi. Masyarakat sebagai pemilik barang memiliki nilai tawar yang sama dengan para pembeli (pemilik modal). Ketiga, meningkatkan PADesa.


Dengan melihat pentingnya peran BUMDes dalam pengembangan perekonomian perdesaan, maka ada beberapa hal yang ditawarkan dalam rangka merancangbangun BUMDes antara lain:

  1. Akumulasi kapital internal. Akumulasi kapital yang diharapkan yaitu kapital ekonomi (simpanan dari anggota), pengembangan sumber daya manusia, pengelolaan kapital fisik desa (pasar desa, tanah kas desa) dll yang dapat juga dimanfaatkan sebagai kapital usaha produktif.
  2. Distribusi kapital eksternal. Kapital yang masuk ke desa (BUMDes) berupa kapital ekonomi yang berasal dari pemerintah desa, pemeritah kabupaten, pemerintah propinsi dan pihak ketiga.
  3. Unit Usaha dan Kemitraan. Pengembangan unit usaha baru dapat dilakukan merujuk pada kewenangan BUMDes. Keanggotaan BUMDes selain individu juga merupakan organisasi pelaku ekonomi lainnya seperti Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Kelompok Tani (KTN), Koperasi Unit Desa (KUD), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dll. Dengan demikian BUMDes berperan sebagai induk atau payung bagi organisasi pelaku ekonomi desa untuk berhubungan dengan pihak-pihak di luar desa.
  4. Pembagian Sisa Hasil usaha (SHU). Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) merupakan bagian yang penting dalam pengembangan BUMDes. Hal inilah yang membedakan BUMDes dari badan usaha lainnya seperti pengusaha individu (CV) atau PT, dll.
    Tumpal P Saragi dalam bukunya berjudul Mewujudkan Otonomi Masyarakat Desa, Alternatif Pemberdayaan Desa menyebutkan lima tujuan pembentukan BUMDes yaitu :
  • peningkatan kemampuan keuangan desa.
  • pengembangan usaha masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan.
  • mendorong tumbuhnya usaha masyarakat.
  • penyedia jaminan sosial.
  • penyedia pelayanan bagi masyarakat desa.

Tujuan pembentukan BUMDes No a, c dan e sangat tergantung pada kewenangan yang dimilikinya. Sementara tujuan a dan d sangat ditentukan bagaimana pengalokasian SHU yang diperoleh. Dengan demikian maka alokasi SHU harus diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.
Pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan BUMDes seperti pemerintah desa, pengurus BUMDes, LSM dan masyarakat (individu/keluarga atau organisasi sebagai anggota) merumuskan bersama distribusi SHU tersebut. Namun hal-hal pokok yang dapat dipertimbangkan adalah :

  1. Bahwa ada bagian tertentu yang dialokasikan untuk PADesa.
  2. Jasa pengurus.
  3. Bagian untuk anggota.
  4. Cadangan modal.
  5. Jaminan sosial.

Dari uraian di atas tampak bahwa BUMDes memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun sebuah model perekonomian yang berbasis masyarakat lokal (desa). Karena dari sana masyarakat bisa menganalisis sendiri persoalan yang dihadapi, merancang jenis kebutuhan yang dapat dipakai untuk menjawabi persoalan dimaksud dan melaksanakan sendiri kegiatan perekonomiannya mulai pra produksi, produksi dan pasca produksi. Peran pihak lain hanya sebatas pada peningkatan kapasitas BUMDes seperti

  1. Pemerintah berperan untuk memfasilitasi reformulasi kebijakan yang mendukung tumbuh kembangnya BUMDes.
  2. LSM berperan dalam pengembangan sumberdaya manusia (managemen yang handal), pengaturan sistem dan mekanisme akumulasi dan distribusi kapital, perbaikan administrasi dan perancangan imbal jasa serta pembagian keuntungan, inisiator usaha-usaha baru dan pengembangan jaringan.
  3. Pengusaha lokal berperan sebagai penampung hasil-hasil usaha masyarakat dan pemasok kebutuhan usaha masyarakat dengan harga yang menguntungkan kedua belah pihak.

Tahun 1997 lulus dari STPDN. Meraih gelar Magister Ekonomi Pembangunan UGM jurusan Pembangunan Daerah 2005. Kini bekerja pada BPMD Kabupaten Lembata

Friday, August 29, 2008

Memasung Keadilan

Oleh : Dr. Paul Budi Kleden, SVD

BAGI gereja di banyak negara di Eropa Barat, salah satu pertanyaan yang kian menantang adalah bagaimana mengurus gedung-gedung gereja. Memang gereja harus berkonsentrasi pada manusia, namun dalam sejarah gereja telah membangun banyak gedung sebagai sarana ibadah dan serentak sebagai ekspresi identitas diri.
Namun, dalam perkembangan ternyata ada terlampau banyak gedung untuk sedemikian sedikit umat. Di satu pihak, menurunnya orang Kristen yang menghadiri kebaktian di gereja melahirkan pertanyaan mengenai kegunaan mempertahankan gedung-gedung sakral tersebut. Umat yang semakin menurun dilayani oleh tenaga pastoral yang semakin kurang pula. Paroki-paroki kecil digabungkan. Dengan ini kebutuhan akan gedung ibadah pun berkurang. Di lain pihak, persoalan keuangan yang semakin sulit memaksa para pemimpin gereja untuk memikirkan penghematan. Perawatan gedung menelan banyak biaya. Karena itu, langkah yang paling konsekuen dari kenyataan ini adalah melepaskan sebagian dari gedung-gedung tersebut. Caranya?

Banyak sekali orang tentu bisa memahami bahwa gereja-gereja tidak dapat lagi mempertahankan sekian banyak gedungnya. Namun, ketika pertanyaannya berkisar pada masalah cara untuk meringankan gereja dari beban yang ada, ternyata ada banyak perbedaan pendapat. Diskusi panjang dan melelahkan sering harus dilewati. Namun bagaimanapun langkah harus diambil. Ada gereja yang dijual untuk dijadikan tempat pertunjukan. Sebagian dibeli oleh sekte atau kelompok religius lain untuk tujuan yang sama, sebagai sarana ibadah. Ada pula yang dijadikan arsip dan perpustakaan, seperti bekas gereja para Fransiskan di Maastrich, Belanda. Di sana, gedung yang tua itu dipoles dengan sentuhan artisektur yang serasi menjadi sebuah tempat pembelajaran arsip dokumen-dokumen tua yang menyenangkan.

Persoalan berkenaan dengan gedung ternyata tidak hanya berkisar pada pelepasan atau penjualan. Ada gedung gereja yang terlalu sempit atau terlalu pengap untuk menjadi tempat ibadat yang menyenangkan. Orang tidak mau membangun gedung baru terpisah dari yang lama, sebab bagaimana pun yang lama telah menjadi satu pusat kehidupan umat. Di sini persoalannya adalah bagaimana menambahkan ruangan yang secara serasi dipadukan dengan gedung tua.

Salah satu contoh penggabungan yang menarik adalah gereja biara para Redemptoris (CSsR) di Wittem, Keuskupan Roermond, Belanda. Biara ini selesai dibangun pada tahun 1733 dan dihuni mula-mula oleh para biarawan Kapusin. Tidak lama setelah itu, biara ini harus merasakan akibat dari Revolusi Perancis yang meluas di Eropa pada akhir abad ke-18. Para Kapusin diusir dari Wittem. Baru pada tahun 1930-an abad ke-19, biara ini kembali dihuni. Kali ini yang datang adalah para biarawan Redemptoris. Wittem menjadi sebuah pusat studi para Redemptoris. Di tempat ini sejumlah pengajar dan pemikir yang berpengaruh pernah berkarya, seperti Pater Victor Dechamps, yang kemudian menjadi Uskup Agung Mechelen dan sangat berperan pada Konsili Vatikan I. Juga Pater W van Rossum yang menjadi kardinal pertama Belanda sejak reformasi. Kemudian dia memimpin konggregasi penyebaran iman (Propaganda Fide) di Roma.

Dengan staf yang kuat dan berpengaruh, Wittem menjadi tempat studi yang dikenal. Kemudian karena kekurangan panggilan, para Redemptoris pun melepaskan tempat ini sebagai pusat studi. Yang tertinggal adalah perpustakaan biara dan gereja yang sudah menjadi sebuah tempat ziarah.

Wittem menjadi sebuah tujuan ziarah yang banyak dikunjungi oleh para peziarah dari Keuskupan Roermond di Belanda dan Aachen di Jerman. Maklumlah, Wittem tidak jauh dari Aachen. Pada tahun 1962 dibangun sebuah ruangan di samping gereja tua. Sebuah pintu menghubungkan gereja tua dengan ruangan baru ini. Memang sangat kentara perbedaan antara keduanya. Gereja tua bergaya barok dengan sejumlah elemen gotis, memberi kesan keagungan, sementara ruang ibadat yang baru tampak cerah dan sederhana. Kendati demikian, suasana religius yang tercipta memungkinkan peralihan dari ruang yang satu ke ruang yang lain. Ruang yang baru secara khusus menjadi ruang doa bagi para peziarah yang mempunyai ujud khusus kepada Santo Gerardus Manjella, seorang bruder Redemptoris bekebangsaan Italia yang hidup dari tahun 1726 hingga tahun 1755.

Pada dinding gereja tua dapat dilihat beberapa gambar sejumlah orang kudus dengan adegan-adegan istimewa dalam hidup mereka. Semuanya memang tampak tradisional. Di ruangan doa yang baru, selain salib besar di balik altar dan sebuah patung Santo Gerardus, semuanya ditata secara modern. Pada dinding kaca ruangan ini tidak ada gambar kudus dalam arti yang tradisional. Bingkai kaca yang besar itu dipenuhi dengan gambar-gambar modern.

Di sana misalnya tertulis kata sanctus (kudus), dan di sekitarnya digoreskan sejumlah nama dari berbagai latar belakang. Ada nama Achmed yang mengitari kata sanctus. Ini sebuah ungkapan pengakuan bahwa yang menyembah Sang Kudus adalah manusia dari berbagai agama dan tradisi religius. Juga, manusia yang dapat disebut kudus, yang memancarkan kekudusan, yang turut menguduskan dunia, berasal dari berbagai latar belakang.

Yang kudus adalah yang tak terbagi, yang tidak memisah-misahkan. Dia adalah yang satu dan mempersatukan. Sebab itu, manusia tidak boleh membuat pemisahan dan pemecahbelahan atas nama Dia yang kudus. Penyembahan yang benar terhadap yang kudus adalah usaha yang telaten dan konsekuen untuk mempersatukan. Tentu saja ini merupakan satu kritik terhadap sejumlah pemahaman dan praktik beragama yang justru memisahkan dan memecahbelahkan daripada mempersatukan. Betapa jauh terkadan realitas agama dari Sang Kudus.

Di samping bingkai kaca dengan tulisan sanctus tersebut, ada sebuah bingkai lain yang berbicara mengenai keadilan. Tampaknya gambar ini hasil karya anak-anak. Inti gambar ini melukiskan keadilan yang terpasung. Ada sebuah sosok yang terbungkus dengan kain hitam bertulisan Gerechtigkei (keadilan), tak berdaya di tiang gantungan. Gambar ini dapat dibaca sebagai ungkapan lain dari salib, karena pada salib pun keadilan dibunuh secara kejam.

Memasung keadilan bukan hanya sebuah ungkapan dan tema yang ditulis dan dipajang pada transparan para demonstran yang melancarkan protes. Pemasungan keadilan harus juga menjadi tema yang mengundang keprihatinan dan kepedulian setiap orang yang beriman kepada Allah. Bertindak tidak adil adalah salah satu bentuk penolakan terhadap kedaulatan Allah. Yang menjadi masalah utama adalah bahwa orang tidak merasa bersalah ketika bertindak tidak adil. Keadilan bukan lagi menjadi sebuah norma yang harus dipenuhi, melainkan sebuah prestasi tambahan yang bisa dikejar kalau merasa memiliki tenaga lebih.

Dalam konteks keseluruhan bangunan gereja di Wittem, keadilan adalah memberi ruang pengartikulasian diri. Yang lama dan yang baru mendapat ruang yang memadai untuk diartikulasikan. Namun pengartikulasian ini tidak menghantar kepada pemisahan diri secara total dari yang lain, tidak harus menjadi alasan bagi kesewenang-wenangan. Sambil mengartikulasikan diri dan kepentingannya, orang masih tetap memberi ruang untuk memasuki dan menghargai apa yang menjadi kekhasan dari kelompok atau tradisi yang lain. Keadilan hanya tercapai, apabila orang tidak menjadi egoistis dalam perwujudan apa yang menjadi haknya.

Memasung keadilan pun bukan hanya sebuah tema di negara-negara di belahan selatan bumi. Di Eropa dan Amerika pun keadilan sering terpasung. Diskriminasi internal memang dapat lebih mudah dicegah melalui perangkat hukum yang memadai. Namun perangkat hukum tidak selalu memggambarkan apa yang hidup di dalam hati dan pikiran seseorang. Tidak sedikit orang yang secara tersembunyi, di rumah atau dan terlebih di dalam hati dan pikirannya, masih sering menghidupkan diskriminasi. Pemikiran dalam bingkai stereotip, yang mengkotak-kotakkan orang hanya berdasarkan beberapa pengalaman sporadis. masih agaknya masih cukup meluas.

Persoalan pemasungan keadilan menjadi lebih jelas apabila kita berpikir secara global. Berapa banyak ketidakadilan yang diperkokoh oleh pemberian bantuan luar negeri atau dalam investasi dunia usaha. Bantuan luar negeri menciptakan ketergantungan, yang jika tidak dikritisi, akan terus memojokkan negara-negara miskin. Investasi dunia usaha ke luar negeri sering merupakan pelarian mencari kondisi usaha yang murah demi perolehan keuntungan yang kian besar. Ketentuan perlindungan tenaga kerja yang masih longgar dan peraturan lingkungan yang belum konksekuen memungkinkan produksi dengan biaya rendah. Penekanan biaya produksi menjadi dasar bagi penngkatan keuntungan. Karena realitas seperti ini, maka sewajarnya masalah keadilan menjadi masalah yang harus dihadapi oleh masyarakat Eropa.

Keadilan adalah salah satu tema utama dalam hal beragama. Selain ditematisasi di dalam doa, lagu dan kotbah, penataan gedung dan lukisan dapat mempertajam kepekaan orang akan pentingnya kepedulian dan partisipasi dalam memperjuangkan keadilan. Agama-agama sejatinya semakin menaruh perhatian dan kepedulian terhadap masalah keadilan. *


Staf Pengajar STFK Ledalero, Maumere-Flores

Thursday, August 14, 2008

Membangun Kabupaten Sikka Dengan Pola Partisipatif

Oleh : Urbanus Lora

SEUASI dilantik menjadi Bupati Sikka periode 2008-2013, Drs. Sosimus Mitang mengedepankan dua program utama dalam membangun Kabupaten Sikka lima tahun ke depan, yakni perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan oleh rakyat serta sinkronisasi kebijakan dari pemerintah tingkat pusat hingga daerah atas kemauan rakyat (Pos Kupang, 1/6/2008). Konsep pembangunan yang dikemukakan menarik untuk dikaji. Duet kepemimpinan Drs. Sosimus Mitang dan dr. Wera Damianus, MM, yang dikenal dengan paket Soda ini sangat responsif terhadap tuntutan perubahan dan memiliki pandangan yang cukup populis dalam menata model pembangunan Kabupaten Sikka mendatang. Di era otonomi daerah memang butuh pemimpin yang inovatif, visioner serta keberanian untuk menggerakkan perubahan. Paket Soda paling tidak telah menunjukan politcal will untuk mengubah manajemen pembangunan daerah ke arah desentralisasi melalui pendekatan partisipatif yang berbasis pemberdayaan masyarakat lokal.

Adagium partisipasi sesungguhnya telah berlangsung sejak era 1980-an. Namun partisipasi lebih dimaknai dengan kehadiran masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (Musrembang) di level desa atau kelurahan. Setelah itu masyarakat praktis tidak lagi dilibatkan pada tahapan selanjutnya (lebih bersifat top down dan orientasi proyek). Penerapan partisipasi seperti ini terkesan 'setengah hati', antara 'ada dan tiada'. Bahkan oleh Drs. Agustinus Q Bebok, M.Si mantan Kabid UEM BPMD Propinsi NTT, telah terjadi perampasan daya kemampuan (capability deprivation) dari masyarakat sehingga tercipta 'kesadaran palsu' dan 'partisipasi palsu.'

Duet kepemimpinan Soda rupanya menyadari kondisi ini dan menginginkan masyarakat dilibatkan secara penuh (participatory) mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dalam proses pembangunan. Suatu terobosan baru yang tentu saja harus diikuti dengan berbagai instrumen berupa kebijakan maupun regulasi sehingga dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan secara yuridis dan sosio-politik.

Semangat Otda
Wacana partisipasi (pelibatan masyarakat secara penuh) yang dilontarkan paket Soda sejalan dengan ranah otonomi daerah (Otda). Lahirnya UU No.32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah telah membawa perubahan paradigma pembangunan yang signifikan dari yang sentralistik ke arah desentralisasi untuk tingkat kabupaten/kota. Filosofi Otda adalah pemberian wewenang dari pemerintah pusat kepada pemeritah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tengganya sendiri. Digariskan pula pelaksanaan Otda harus bertumpuh pada prinsip partisipasi, demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah. Platform politik Otda ini jelas memberikan ruang bagi daerah untuk berkreasi dan berinovasi, meredisain berbagai kebijakan dan strategi pembangunan, mendayagunakan seluruh potensi dan sumber daya yang dimiliki dengan mengerahkan partisipasi seluruh warga masyarakat demi mencapai kesejahteran bersama.

Pelaksanaan Otda membutuhkan cara berpikir dan bertindak yang utuh, padu dan menyeluruh dari segenap stakeholder pembangunan. Tiga domain pembangunan yakni pemerintah daerah, DPRD dan masyarakat (civil society) perlu membangun dialog yang terbuka dan bebas serta bersama-sama merumuskan berbagai strategi pembangunan guna mewujudkan Otda yang nyata dan bertanggung jawab. Dengan semangat Otda, sudah semestinya mampu memberikan daya dorong dan menggugah timbulnya kesadaran bersama, menyatukan persepsi, dan gerak langkah bersama dengan menjadikan partisipasi masyarakat sebagai suatu proses yang melekat dalam setiap tahapan pembangunan. Partisipasi masyarakat sudah saatnya harus menjadi main stream (pengarusutamaan) dari setiap tahapan pembangunan di era Otda, yang niscaya akan mampu mengakselerasi pembangunan demi terciptanya masyarakat yang lebih maju, mandiri, dan sejahtera.

Mewujudkan pambangunan partisipatif membutuhkan tata pemerintahan yang baik (good gavernance). Penataan biorkrasi seyogyanya mencerminkan reformasi birokrasi pemerintahan yang solid, profesional, proaktif dan terpercaya dalam pelayanan publik yang paripurna. Sedangkan reformasi di bidang pembangunan perlu adanya reorientasi dan revitalisasi konsep dan implementasi pembangunan partisipatif. Hal ini penting sebab, birokrasi yang selama ini terpola dengan sistem proyek akan menjadi tantangan tersendiri bagi terselenggaranya model pembangunan partisipatif yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Penguatan kapasitas birokrat adalah mutlak guna menciptakan aparatur yang menjadi akselerator dan dinamisator yang dapat membawa perubahan sikap mental di lingkungan pemerintah, perubahan tata kemeperintahan serta pendampingan masyarakat.

Selain itu DPRD sebagai lembaga legislatif daerah harus menjadi mitra pemerintah yang sepadan, memiliki sikap kritis, empatif dan responsif terhadap tuntutan perubahan. Dalam menjalankan tiga fungsi utamanya DPRD harus memperlihatkan kepedulian dan keperpihakan kepada rakyat yang diwakilinya terutama pro kepada masyarakat miskin dengan ikut memberikan kontribusi yang signifkan dalam perumusan kebijakan pembangunan yang lebih partisipatif. Wujud nyata dari fungsi yang diemban adalah bersama pemerintah daerah melahirkan kebiajakan yang pro poor regulation, pro poor budgeting, dan pro poor controling.
Sementara pihak masyarakat harus lebih mendasarkan tuntutan perubahan dan mampu menaikkan posisi tawar (bergaining) dengan pemerintah dan DPRD. Melalui kelembagaan yang ada (civil society) diharapkan mampu mempengaruhi lahirnya kebijakan publik yang transparan dan berpihak kepada masyarakat dengan memperjuangakan model pembangunan partisipatif di daerah. Perubahan sistem politik pilkada saat ini semestinya posisi tawar masyarakat menjadi lebih kuat dan berdaya. Siapapun dia calon pemimpin yang tampil di arena pilkada, masyarakat bisa menawarkan model pembangunan yang dikehendaki dan manjatuhkan pilihan politik yang tepat. Dan saya berpikir rakyat Kabupaten Sikka telah memberikan dukungan politik yang tepat kepada Soda karena program pembangunan partisipatif yang ditawarkan.

Mengadopsi Pola PNPM-MP
Pemerintah saat ini telah menyadari bahwa melibatkan masyarakat hanya sebatas perencanaan saja tidak cukup dan telah mendatangkan banyak kerugian secara sosio-politik. Belajar dari pengalaman itu di era 1990-an diluncurkan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) yang kini diubah nomenklaturnya menjadi Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP). Program ini lahir sebagai kilas balik dari kegagalan program-program sebelumnya, dengan mengarusutamakan pendekatan participatory sebagai ikon pembangunan di era reformasi.

PPK atau PNPM-MP sebenarnya digulirkan oleh pemerintah pusat sebagai media pembelajaran bagi pemerintah daerah guna menemukan model pembangunan yang lebih sesuai dengan semangat Otda. Oleh karenanya pemerintah daerah diharapkan dapat mengadopsi pola PPK untuk diintegrasikan ke dalam manajemen pembangunen reguler. Dari sini terdapat benang merah antara kebijakan pemerintah pusat dengan program strategis paket Soda, yakni sinkronisasi kebijakan dari pemerintah tingkat pusat hingga daerah atas kemauan rakyat. Jika memang hal ini telah menjadi tekad Soda, maka mengadopsi pola PNPM-MP menjadi alternatif yang patut dilaksanakan.

Pelaksanaan PPK didesain dengan grand strategy menuju kemandirian masyarakat. Untuk mencapai kemandirian masyarakat membutuhkan limit waktu yang panjang, dan diperkirakan program ini akan berlangsung sampai dengan tahun 2015. Grand strategy tersebut dimulai dengan tahapan inisiasi yang diawali dengan pilot project di beberapa kecamatan. Menyusul pelaksanakan PPK I dan II (1998 - 2005) sebagai tahapan internalisasi program kepada pemerintah daerah dan masyarakat. PPK phase III (2006 - 2007) adalah tahapan pelembagaan sistem PPK ke dalam manejemen pembangunan reguler. Pada tahapan ini pemerintah pusat gencar mengkampanyekan skenario pengintegrasian tersebut di antaranya melalui proses hearing dengan DPRD seluruh kabupaten dan propinsi. Sayangnya, belum mendapat tanggapan serius baik dari pemerintah daerah dan DPRD dan beberapa agenda pengintegrasian pun mandeg. Disusul PNPM-MP (2008-2009) merupakan tahapan lanjutan dari proses pengintegrasian menuju kemandirian, dalam arti daerah sudah dapat mengadopsi pola PPK kedalam sistem pembangunan daerah.

Yang menarik dan patut ditiru dari pelaksanaan PPK sejak 1998 di seluruh Indonesia adalah skema pemberdayaan (empower) dengan melibatkan masyarakat secara penuh sejak perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pengawasan dan pelestarian terhadap hasil-hasil kegiatan PPK. Perencanan dimulai dengan penggalian gagasan di tingkat kelompok dan dusun. Selanjutnya dilakukan Musyawarah Desa Perencanaan untuk menetapkan prioritas usulan desa dan terakhir digelar Musyawarah Antar Desa (MAD) di tingkat kecamatan guna penentuan rangking usulan dan pendanaannya. Forum ini merupakan pengambilan keputusan tertinggi dan final.

Dengan dana BLM (Bantuan Langsung Masyarakat) yang dialokasikan di setiap kecamatan antara Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar masyarakat sendiri yang melaksanakan kegaiatan dengan mekanisme swakelola. Pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan pun oleh masyarakat dengan dibentuk Badan Pengawas untuk mengendalikan pengelolan keuangan oleh Unit Pengelola Kegaiatan (UPK) di tingkat kecamatan dan di desa oleh Tim Masyarakat Pemantau untuk mengawasi pengelolaan kegiatan dan keuangan oleh Tim Pelaksana Kegiatan (TPK). Masyarakat pula yang bertanggung jawab memelihara dan melestarikan hasil-hasil kegiatan PPK dengan dibentuk Tim Pemelihara di desa.

Yang mau digarisbawahi di sini sistem PPK dengan pendekatan participatory-nya sebagai model pembelajaran dan pemberdayaan telah mendarat dan tertanam kuat di tingkat masyarakat perdesaan. Selama kurun waktu satu dasawarsa ini PPK telah membangun dan membangkitkan kembali human capital dan social capital yang terpendam atau 'dipendamkan' di arus bawah. Masyarakat desa telah mampu mengelola proyek yang bernilai ratusan juta. Modal sosial seperti swadaya, gotong royong dan solidaritas kembali tumbuh-mekar. PPK telah menyediakan berbagai sarana dan prasarana dasar, pendidikan dan kesehatan serta modal usaha bernilai miliaran rupiah. Dengan mekanisme swakelola, terjadi pula penghematan anggaran yang cukup besar jika dibandingkan dengan proyek.

Pemerintah daerah dan DPRD semestinya tanggap terhadap tren perubahan masyarakat yang terjadi melalui mekanisme pembangunan partisipatif tersebut. Pengintegrasian PNPM-MP yang ditawarkan oleh pemerintah pusat selayaknya mendapatkan tempat di hati para punggawa pembangunan di daerah. Kalau itu yang terjadi maka pendekatan keproyekan semata sudah harus mulai beralih ke pendekatan keprograman yang berbasis pemberdayaan masyarakat. Partisipasi membutuhkan pengakuan, dan bukan pemberian. Dengan demikian masyarakat sebagai mitra dan pelaku pembangunan tidak lagi sekadar sloganistik belaka melainkan telah mendapatkan tempat yang terhormat di era Otda.

Perda Paritipatif
Pelaksanaan Otda seyogyanya diiringi dengan penciptaan berbagai regulasi yang dapat melindungi kebijakan pembangunan yang ditempuh. Namun demikian selama ini terkesan pemerintah daerah dan DPRD kurang kreatif untuk membuat berbagai peraturan daerah (Perda) sebagai payung hukum pelaksanaan Otda. Banyak alasan yang dikemukakan diantaranya Otda masih dalam masa transisi, atau belum ada 'petunjuk' dari pusat. Padahal iklim regulasi nasional terus bergerak maju yang harus diikuti dengan pembuatan Perda sehingga bisa diterapkan secara lebih teknis sesuai karakteristik dan kebutuhan daerah.
Mengingat betapa pentingnya partisipasi sebagaimana telah diamanatkan dalam semangat Otda, maka perlu perda yang relevan dan memposisikan masyarakat secara lebih proporsional. Manfaat Perda pembangunan partisipatif selain sebagai payung hukum, juga demi menjaga keberlanjutan (sustainibility) kebijakan dan program yang telah menjadi konsensus publik. Sebab selama ini ketika terjadi pergantian kepala daerah, sering pula banyak kebijakan dan program diganti, yang diduga cenderung membawahi kepentingan pribadi kepala daerah yang bersangkutan ketimbang kepentingan publik. Ini merupakan 'bahaya' pembangunan yang sudah saatnya dihentikan.

Formulasi perda pembangunan partisipatif merujuk pada upaya memadukan tiga pendekatan perencanaan pembangunan (sebaimana termaktub dalam UU No.25 /2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), yakni proses peolitik, teknokratis dan partisipatif. Dalam formulasi tersebut proses partisipatif harus dikedepankan. Sebab dominasi proses politik dan teknokratis yang dijalankan selama ini tidak berpihak bahkan mengingkari proses partisipatif. Padahal proses politik yang mendokumentasikan pilihan publik belum sepenuhnya mampu mengartikulasi aspirasi masyarakat. Sementara dominasi proses teknokrat baik penentuan prioritas kebutuhan dan anggaran kurang mencerminkan adanya perencanaan yang memiliki perspektif visioner dan realistis. Ke depan proses partisipatif harus mendapat porsi terbesar guna menghindari adanya klaim pilihan publik palsu serta prioritas kegiatan dan anggaran yang lebih menjawabi kebutuhan riil masyarakat.

Di tengah tersisihnya proses partisipatif muncul PNPM-MP sebagai model alternatif di luar sistem reguler. Baik perencanaan program, perencanaan anggaran maupun pelaksanaan kegiatan ala PNPM-MP menawarkan proses yang demokratis dan partisipatif. Nah, yang perlu disikapi pemerintah daerah dan DPRD adalah menjadikan PNPM-MP sebagai salah satu best pratice dalam mereformulasi kebijakan dan strategi pembangunan daerah dalam bentuk perda.
Inilah barangkali tugas pertama yang harus dilaksanakan oleh paket Soda jika mau membangun Kabupaten Sikka ke depan dengan model partisipatif. Rakyat Kabupaten Sikka tentu akan menyambut gembira dan mendukung sepenuhnya kebijakan dan program-program pembangunan yang mampu menjawabi kebutuhan mereka. Alangkah indahnya jika pernyataan dan janji-janji kampanye, tidak sekadar retorika politik semata tetapi harus direalisasikan secara konsisten dengan penuh kejujuran dan ketulusan hati sang pemimpin. Janganlah sekali-kali mengibuli rakyat dengan janji palu demi sebuah kemenangan. "Bergembiralah, tapi janganlah dalam kegembiraan itu kita berbuat dosa, kerena itu menyakiti hati Tuhan dan sesama (rakyat)," demikian kata Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Parera, SVD dalam kotbahnya pada misa syukur pelantikan paket Soda tersebut.*

Konsultan Manejemen Nasional PNPM-MP / PPK Propinsi NTT

Thursday, July 31, 2008

Depolitasi Birokrasi Dan Debirokratisasi Politik

Oleh Norbert Jegalus

SIAPA sih Lebu Raya itu? Hanya karena ia Ketua Partai PDI Perjuangan NTT berambisi menjadi gubernur. Tidak ada lagikah pejabat teras birokrasi NTT untuk memimpin propinsi ini daripada seorang rakyat, Lebu Raya itu? Apakah itu tidak merupakan langkah keliru memilih seorang rakyat yang tidak berpengalaman dalam bidang birokrasi pemerintahan menjadi gubernur?

Itulah pertanyaan yang muncul jauh-jauh hari menjelang pilkada dan terlebih dalam suasana rivalitas kampanye pilkada. Saya membahas persoalan itu dalam kerangka teori politik atau lebih umum sekarang dikenal dengan sebutan ilmu politik normatif, yang mempersoalkan atau mempelajari tentang Das Sollen (apa yang seharusnya atau apa yang normatif) dalam dunia politik: Apakah seharusnya orang-orang yang berpengalaman di dunia birokrasi pemerintahan memimpin pemerintahan?

Depolitisasi birokrasi
Dari kaca mata teori politik sebenarnya hanya ada dua penghalang pembangunan demokrasi kita selama pemerintahan Orde Baru Soeharto, yakni militerisasi politik dan birokratisasi politik. Isi pengetahuan politik masyarakat pada waktu itu tidak lain bahwa yang pantas memangku jabatan politik gubernur, walikota dan bupati hanya birokrat dan militer. Yang muncul dalam wacana suksesi kepala daerah hanyalah diskusi seputar pencalonan dan pemilihan pejabat teras birokrasi pemerintahan seperti sekda, kepala dinas/kantor, kepala biro dan rupa-rupa jabatan penting di birokrasi pemerintahan. Bagi orang-orang di birokrasi dan juga masyarakat pada umumnya, itu adalah sangat rasional dan sudah seharusnya, karena orang-orang birokrat mengetahui dengan baik seluk-beluk birokrasi pemerintahan daerah. Bagaimana mungkin seorang yang tidak berpengalaman di dunia pemerintahan bisa memimpin pemerintahan daerah? Begitu kira-kira argumentasinya. Padahal argumentasi itu sama sekali tidak memiliki nilai normatif, bahkan harus dikatakan semu dalam kerangka paham demokrasi.

Bureaucratic polity itu berkaitan erat dengan eksistensi Golkar yang mengidentikkan dirinya dengan pemerintahan, namun tidak memandang diri sebagai partai yang memerintah meski ia mengikuti pemilihan umum bersama parpol PDI dan PPP. Demikianlah rezim Orba mengelola institusi birokrasi dalam rangka melanggengkan kekuasaannya. Penguatan terhadap lembaga Golkar dengan cara 'golkarisasi' seluruh jajaran birokrasi dari pusat sampai ke daerah adalah bentuk kebijakan politik Soeharto yang mampu memberi dukungan penuh terhadap cita-cita pemerintahannya. Itulah sebabnya, begitu rezim Orba tumbang, maka kebijakan politik yang paling utama dalam rangka pembangunan demokrasi adalah kebijakan demiliterisasi politik dan depolitisasi birokrasi.

Sejak itu dibuat pemisahan tegas antara birokrasi dan politik. Mesin politik sebagai perwujudan demokrasi kedaulatan rakyat. Melalui institusi partai politik, ia merekrut politisi untuk menduduki jabatan politik di lembaga legislatif dan eksekutif untuk membentuk dan mengepalai pemerintahan. Sedangkan mesin birokrasi adalah lembaga negara yang memiliki pengetahuan teknis-birokratis dalam bidang administrasi pemerintahan untuk menjalankan kebijakan politik pemerintahan.

Mesin birokrasi tidak bisa jalan sendiri dan juga tidak bisa jalan dengan sendirinya. Ia tidak bisa jalan sendiri, karena ia adalah lembaga politik negara yang diangkat oleh negara secara permanen untuk melaksanakan kebijakan politik sebuah pemerintahan yang terpilih. Jadi ia berjalan berdasarkan arah program politik pemerintahan yang ada; ia tidak mempunyai program politik sendiri. Juga ia tidak bisa berjalan dengan sendirinya tanpa mesin politik, karena kalau ia berjalan dengan sendirinya, maka ia akan berhadapan dengan sebuah pertanyaan yang sangat fundamental dalam kerangka paham demokrasi: dari mana ia mendapatkan kekuasaan untuk memerintahkan rakyat atau menjalankan pembangunan daerah kalau bukan dari rakyat itu sendiri? Padahal rakyat tidak pernah memberikan kekuasaannya kepada mesin birokrasi selain kepada mesin politik.

Hal itulah yang didiskusikan pada awal reformasi dengan pertanyaan yang kelihatan sederhana tetapi sangat mendasar dalam proses demokratisasi: mengapa birokrasi berkuasa? Seperti disinggung di atas, jawabannya ialah karena rezim Orba mempraktekkan bukan demokrasi melainkan bureaucratic polity.

Sadar bahwa mesin birokrasi adalah ujung tombak pelaksanaan kebijakan politik sebuah pemerintahan, maka sejak awal reformasi kita membuat kebijakan penguatan birokrasi dengan jalan mendepolitisasi birokrasi. Sejak itu Golkar dipisahkan dari birokrasi pemerintahan dan para Pegawai Negeri Sipil tidak hanya dipisahkan dari Golkar tetapi juga dilarang untuk berpartai-politik. Pemisahan itu tidak hanya membantu mesin politik untuk menghidupkan demokrasi dengan benar tetapi juga membantu menguatkan mesin birokrasi itu sendiri sebagai institusi politik negara untuk menjalankan pelayanan kepada masyarakat tanpa diganggu oleh kepentingan politik.

Debirokratisasi politik
Kita perlu terus terang mengakui bahwa yang terjadi selama ini hanyalah pembangunan politik yang demokratis baru pada lembaga legislatif, meski masih ada ketimpangan dan keterbatasannya dan belum ada pada lembaga eksekutif. Kita harus mengakui bahwa belum ada pembagunan politik yang demokratis dalam lembaga eksekutif, yang terjadi adalah masih pembangunan politik yang birokratis. Artinya, birokrasi tetap menjadi isu sentral dalam proses pemilihan kepala daerah seperti pada era bureaucratic polity rezim Orba.
Birokrasi pemerintahan menjadi kata kunci dalam pembentukan pengertian, kesadaran dan sikap politik baik rakyat secara individu maupun rakyat secara institusional dalam bentuk lembaga politik seperti parpol atau organisasi-organisasi dari kekuatan civil society. Kedangkalan pemikiran kita terletak dalam kenyataan bahwa kita masih memahami demokrasi dalam kerangka bureaucratic polity seperti yang dipraktekkan rezim Orba, di mana suara rakyat dalam pilkada sebenarnya dipakai sekadar untuk 'meresmikan' birokrat menjadi pejabat politik melalui proses yang kelihatannya demokratis.

Kalau boleh saya catat, kita baru memiliki tiga pemilihan kepala daerah di NTT yang demokratis in sensu stricto (dalam arti tegas). Jadi tidak hanya prosesnya demokratis tetapi juga pilkada itu sudah menyentuh isi paham demokrasi (rakyat berkuasa), meski masih dengan segala keterbatasannya, yakni terpilihnya Aleks Longginus menjadi Bupati Sikka periode lalu, terpilihnya Simon Hayon menjadi Bupati Flotim 2004-2009 dan yang sekarang ini, terpilihnya Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT untuk periode 2008-2012. Beberapa suksesi kepala daerah selain itu, kalau saya tempatkan dalam kaca mata teori politik modern, sebenarnya kita hanya menjalankan legitimasi pejabat birokrasi pemerintahan untuk menjadi pejabat politik walikota dan bupati dalam bingkai demokrasi, seperti adanya konsep pemilihan kepala daerah sacara langsung oleh rakyat yang diusung oleh parpol atau gabungan parpol; seakan-akan paham demokrasi itu hanya menyangkut persoalan bagaimana suara atau keinginan rakyat disalurkan.

Mengapa birokratisme politik itu masih terjadi? Bukankah reformasi kita adalah reformasi total, yakni bukan saja kita melakukan reformasi politik melainkan juga reformasi birokrasi? Reformasi politik tidak akan membawa banyak perubahan yang positif bagi pembangunan politik yang demokratis tanpa kita melakukan reformasi birokrasi, karena reformasi kita lahir dari penyimpangan bureaucratic polity yang menyatukan birokrasi dan politik. Penyatuan itu tidak hanya melanggengkan kekuasaan rezim Orba tetapi juga memberikan keuntungan bagi birokrat di tingkat daerah. Para birokrat daerah meski mereka sadar bahwa mereka adalah pegawai negeri sipil yang diangkat oleh negara untuk menjadi pelayan masyarakat, namun berkat kebijakan bureaucratic polity rezim Orba mereka memandang diri tidak sekadar birokrat tetapi juga politisi.

Aspek politik dari birokrasi inilah yang tidak didiskusikan dengan matang ketika reformasi dimulai. Seakan-akan persoalan bureaucratic polity hanya menyangkut politisasi birokrasi, sehingga yang harus dilakukan hanya kebijakan depolitisasi birokrasi dengan menarik Golkar dari birokrasi. Padahal praktek bureaucratic polity rezim Orba menyangkut tidak hanya politisasi birokrasi tetapi juga birokratisasi politik. Karena itu, untuk menjadikan mesin birokrasi dan mesin politik itu kembali bereksistensi seturut hakekatnya masing-masing, maka tidak cukup dengan kebijakan sekadar menarik politik dari tubuh birokrasi, melainkan kita harus memisahkan keduanya. Itu berarti, kita tidak hanya melakukan depolitisasi birokrasi melainkan juga debirokratisasi politik, yakni mencabut aspek kewibawaan birokrasi dari mesin politik sehingga mesin politik dalam proses merekrut pemimpin daerah betul-betul menggambarkan demokrasi kedaulatan rakyat. Tanpa debirokratisasi politik, maka pilkada adalah ritus politik baru atas nama demokrasi untuk meresmikan pejabat birokrasi menjadi pejabat politik gubernur, bupati dan walikota.

Pada titik ini patut kita catat atas terpilihnya Frans Lebu Raya menjadi Gubernur NTT periode 2008-2012, bahwa pilkada propinsi sebagai ritus pengresmian birokrat menjadi pejabat politik berakhir. Terpilihnya seorang rakyat, Frans Lebu Raya, adalah simbol kebangkitan demokrasi kedaulatan rakyat di NTT. Dialah rakyat pertama dalam sejarah politik Propinsi NTT yang dipilih secara langsung oleh rakyat untuk menjadi pejabat politik gubernur. Saya mengutip apa yang penulis pernah diskusikan tiga tahun lalu mengenai tema yang sama melalui media Pos Kupang (18 Oktober 2005) di bawah judul "Birokrasi dan politik: Birokrasi menghambat politik" Bagian pertama dari dua tulisan): "Patut dicatat ialah PDI Perjuangan sebagai partai politik pertama yang melakukan politik partai. PDI Perjuangan mengangkat kader partainya, Frans Lebu Raya, menjadi Wakil Gubernur NTT. PDI Perjuangan dalam hal ini, mampu membongkar kultur politik yang birokratis di NTT, yang selama ini hanya beranggapan bahwa untuk menjadi gubernur atau wakil gubernur hanyalah kader-kader pejabat karier dari birokrasi." *

Dosen Unwira, sekarang kandidat Doktor Teori
Politik pada Universitas Muenchen-Jerman

Mengatasi Post Power Syndrome

Oleh : Herman Musakabe
POST power syndrome (disingkat PPS) adalah suatu sindrom pasca kekuasaan di mana seseorang mengalami perubahan status dari 'berkuasa' menjadi 'tidak berkuasa', dari keadaan powerfull menjadi powerless, dari seorang 'bos' menjadi 'orang biasa'. Perubahan ini oleh sebagian orang dapat dilalui dengan baik tanpa suatu hambatan yang berarti, tetapi sebagian orang tidak dapat melalui dengan baik sehingga menimbulkan gejala atau tanda-tanda ketidaknormalan tertentu pada emosi dan tindakan yang dapat menyebabkan gangguan baik fisik maupun psikis dalam diri yang bersangkutan.

Sebenarnya PPS adalah gejala biasa dan alamiah yang pasti akan dialami oleh semua orang karena faktor usia yang bertambah dan menyebabkan seseorang harus memasuki masa pensiun atau purnatugas. Masalahnya adalah ketidaksiapan sebagian orang secara fisik dan mental menghadapi PPS, terutama menyangkut beberapa faktor kehidupan. Faktor sosial ekonomi, penghasilan yang berkurang yaitu uang pensiun yang diterima tidak sebesar penghasilan waktu masih berdinas aktif. Padahal masih ada berbagai kebutuhan keluarga yang harus dipenuhi. Sejumlah fasilitas dan kemudahan yang didapat selama berdinas aktif semuanya ditarik negara sehingga semua beban menjadi tanggungan sendiri. Aktivitas yang berubah/berhenti secara mendadak, dari banyak kegiatan (sibuk) menjadi menganggur, dari sering berkomunikasi dan berinteraksi dengan rekan kerja dan bawahan menjadi sendirian, menjadikan orang kesepian. Perubahan status sosial dari pejabat menjadi mantan pejabat dapat mengakibatkan timbulnya stres bagi sebagian yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Ibarat seorang yang berada di ruangan ber-AC/pendingin yang tiba-tiba keluar ruangan yang panas dan mengalami perubahan suhu secara drastis.

Dampak dari faktor-faktor di atas akan lebih besar bagi para pejabat pemerintahan atau pimpinan perusahaan karena kekuasaan yang dimilikinya, sehingga akibat yang ditanggung dari PPS pun menjadi lebih besar. PPS bisa menimpa siapa saja, bisa menimpa seorang mantan presiden, gubernur, bupati/walikota, anggota DPR/DPRD atau seorang direktur perusahaan, karena kekuasaan dan fasilitas dinas ditarik dan jabatannya harus diserahkan kepada orang lain. Hal serupa bisa terjadi di semua profesi, termasuk di dunia olahraga. Para juara tinju dunia di AS yang disanjung-sanjung publik dan memiliki materi berkelimpahan, sebagian besar mengalami stres dan jatuh miskin setelah dikalahkan oleh petinju muda yang merebut gelarnya. Mereka tidak bisa menikmati ketenangan hidup di hari tuanya karena dililit hutang akibat gaya hidup yang boros dan tagihan pajak yang harus dilunasinya. Di Indonesia, banyak kisah-kisah atlit tempo doeloe dan para selebriti yang berjaya pada zamannya tetapi kini harus hidup menderita dengan hanya mengharapkan belas kasihan orang lain.

Semua dampak PPS pada hakikatnya merupakan rambu peringatan bahwa di dunia yang fana ini tidak ada yang abadi. Pangkat, jabatan, kekayaan dan popularitas hanyalah bersifat sementara. Setiap orang harus mengembalikan apa yang dimilikinya kepada Tuhan bila saatnya tiba. Walaupun PPS merupakan hal yang tidak mudah dilalui bagi orang yang pernah memegang kekuasaan, namun selalu ada upaya-upaya untuk mengatasinya atau minimal mengurangi dampak negatif PPS.

Beberapa Kiat Mengatasi PPS
Berdasarkan beberapa literatur dan pengalaman pribadi, ada beberapa cara untuk mengatasi PPS tersebut. Penulis ingin berbagi (sharing) pengalaman tentang cara-cara mengatasi PPS dengan tidak bermaksud menggurui, karena setiap orang memiliki cara tersendiri untuk mengatasinya. Masa pensiun seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang yang akan menjalaninya. Apalagi istilah di-'pensiun dini', PHK, atau terlibat kasus-kasus dugaan korupsi menjadi beban tersendiri pada akhir masa tugas dan purnatugas. Masa transisi yang lazim disebut Masa Persiapan Pensiun (MPP) seringkali diplesetkan menjadi 'mati pelan-pelan'.
Namun, ada beberapa orang yang mampu mengatasi PPS dengan baik dan mungkin bisa menjadi contoh bagi orang lain. Salah seorang perwira tinggi senior yang tetap sehat walaupun sudah berusia 90-an tahun adalah Letjen TNI (Purn) Kartijo. Beliau adalah salah seorang mantan Komandan Seskoad yang pernah menjabat Wakil Ketua MPR. Setiap HUT Seskoad yang jatuh pada tanngal 25 Mei, semua mantan Danseskoad diundang dan Pak Kartijo tidak pernah absen. Padahal beberapa mantan Danseskoad yang lebih muda berhalangan hadir karena masalah kesehatan atau karena telah berpulang. Kalau ditanya mengenai resep hidup sehat dan umur panjang, Pak Kartijo selalu membagikan pengalamannya. "Jangan berhenti beraktivitas dan jangan biarkan otak berhenti berpikir. Biasakan sel-sel otak terus bekerja, bahkan dengan cara sederhana mengisi teka-teka silang (TTS) sekali pun. Hidup sederhana dan jangan ngoyo, olah raga jalan kaki serta rajin mendekatkan diri kepada Tuhan," ujarnya. Itulah Pak Kartijo, sosok yang sering dijadikan contoh bagi para perwira yang lebih muda. Memang sejak masih berdinas aktif di TNI, Pak Kartijo dikenal sebagai perwira yang hidupnya sederhana, bersih dan sangat berdisiplin.

Beberapa cara mengatasi PPS dapat disampaikan sebagai berikut ini. Pertama, ketika memasuki masa pensiun hadapilah dengan lapang dada dan sikap legawa. Anda harus merasa bersyukur kepada Tuhan, karena masih dapat mengakhiri tugas dengan baik dan memasuki masa pensiun. Ada masa datang dan ada masa pergi, begitu juga jabatan harus ditinggalkan pada waktunya untuk diserahkan kepada pengganti yang lebih muda. Penyesuaian diri dengan lingkungan baru sangat penting. Makin cepat Anda menyesuaikan diri, makin baik untuk mengatasi PPS. Tinggalkan masa lalu dan hadapi masa depan sebagai tempat pengabdian baru dengan segala tantangan baru pula.

Kedua, mencari aktivitas dan kegiatan untuk mengisi waktu luang yang banyak tersedia. Membina/mengurus keluarga dengan memberi perhatian lebih besar kepada para anggota keluarga. Memilih tempat berdomisili yang tepat juga penting, karena keberadaan keluarga, kerabat dan lingkungan yang mendukung merupakan salah satu cara untuk membantu mengurangi dampak PPS. Kadang-kadang beberapa kegiatan harus dicoba sebelum mendapatkan kegiatan yang pas/cocok untuk dijalani. Ada beberapa orang yang menjalani usaha/bisnis, kegiatan bidang politik, bidang rohani, melanjutkan belajar/kuliah, aktif di yayasan sosial, atau bekerja paruh waktu sesuai bakat atau profesi yang pernah dijalani. Semua kegiatan itu baik, asalkan positif dan tidak terlalu membebani diri dengan biaya atau beban pikiran di luar kemampuan. Penulis pernah mencoba mengikuti kegiatan di bidang politik, pengurus yayasan anti narkoba, mengikuti tim safari rohani (seminar, triduum devosi) bersama seorang romo moderator Marian Centre Indonesia (MCI) ke daerah-daerah, menjadi widyaiswara tamu di Lemhannas, menulis artikel di beberapa media massa dan menulis buku tentang kepemimpinan dan rohani. Di antara kegiatan tersebut yang masih tetap setia dijalani sampai sekarang adalah menulis artikel, menulis buku dan kegiatan rohani (mengembangkan Doa Rosario Hidup), sedangkan kegiatan lainnya sudah berangsur-angsur ditinggalkan. Dengan menulis, saya bisa berbagi pengalaman dengan orang lain dan tetap merasa berguna bagi sesama. Apalagi kegiatan menulis mengharuskan banyak membaca sebagai referensi dan acuan. Kegiatan apa pun tidak masalah, selama kegiatan itu positif dan Anda menyukainya serta mendapatkan kepuasan batin.
Ketiga, salah satu masalah yang sering dihadapi dalam masa pensiun adalah masalah kesehatan, karena seiring bertambahnya usia bertambah juga penyakit yang merongrong tubuh. Bapak Cosmas Batubara (mantan menteri) dalam sebuah perjalanan menyampaikan joke bahwa para manula punya penyakit '5 B', yaitu botak, beser (sering buang air kecil), buram (penglihatan berkurang), budek (pendengaran berkurang/tuli) dan bego (menjadi pelupa/bodoh). Menjaga kesehatan dengan makanan yang berimbang, istirahat cukup dan berolah raga sangat dianjurkan. Olah raga yang 'murah meriah' adalah berjalan kaki, jogging, senam atau bersepeda karena bisa dilakukan sewaktu-waktu. Selain berobat ke dokter, berbagai pengobatan alternatif bisa menjadi pilihan atau mengonsumsi obat-obatan herbal untuk menjaga kesehatan dan sebagainya. Jatuh sakit pada masa pensiun merupakan beban yang berat bagi si sakit dan keluarga, karena biaya yang dikeluarkan cukup besar, sementara sumber dana terbatas. Oleh sebab itu menjaga kesehatan secara preventif lebih penting daripada mengobati penyakit.

Keempat, masa pensiun adalah masa lebih mendekatkan diri dengan Tuhan sebagai investasi untuk kehidupan yang akan datang. Banyak mantan pejabat aktif di bidang rohani dan giat menjalankan ibadah agamanya pada masa pensiun. Mereka yang Muslim rajin menjalankan solat subuh setiap hari. Para manula merasa lebih sehat bangun pagi dan menjalankan ibadah, karena udara pagi hari lebih menyehatkan. Dalam buku terbaru saya berjudul 'Menuju Hidup Yang Lebih Ekaristis' (2008), saya menganjurkan agar umat Katolik lebih sering mengikuti perayaan ekaristi pada misa harian, selain yang diwajibkan pada hari Minggu. Mengikuti ekaristi menjadikan hidup lebih sehat secara rohani dan jasmani, karena Tuhan selalu membimbing hidup kita.

Kelima, masa pensiun dengan dampak PPS pada hakikatnya adalah buah/hasil dan rekapitulasi dari apa yang Anda tanam selama masih menjabat. Kalau Anda menanam hal-hal yang baik untuk sesama, maka Anda akan menuai kebaikan-kebaikan Tuhan melalui orang-orang di sekitar Anda. Tetapi bila Anda menanam keburukan, permusuhan, penyalahgunaan kekuasaan, intrik politik dan kesewenang-wenangan, maka Anda akan menuai akibatnya di hari tua. Sebagian orang mengalami depresi dan stres berat akibat beban mental yang harus dipikul karena harus berurusan dengan aparat penegak hukum, justru pada saat mereka tidak lagi memiliki kekuasaan. Alih-alih mendapatkan ketenangan pada masa pensiun, justru merasakan beban secara psikis dan ekonomis karena harus menghadapi masalah hukum yaitu dugaan penyalahgunaan kekuasaan dengan segala risikonya. Seperti kata pepatah lama : "Tangan mencencang, bahu memikul", itulah realitas hidup yang harus dihadapi.

Kesimpulannya, PPS adalah sindrom pasca kekuasaan yang tidak terelakkan bagi pejabat yang memiliki kekuasaan. Tergantung bagaimana seseorang menghadapinya, apakah dengan rasa bersyukur kepada Tuhan karena dapat mengakhiri tugas dengan baik, atau dengan rasa kecewa dan tidak legawa karena semua kekuasaan ditarik daripadanya. Sebaiknya PPS dihadapi dengan rasa bersyukur dan carilah kegiatan positif untuk mengisi waktu pensiun. Menjaga kesehatan, berolah raga teratur dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan sangat dianjurkan. Tidak ada yang abadi di dunia yang fana ini, semua jabatan, pangkat, kekayaan, popularitas, bahkan hidup kita akan berakhir dan kita harus menghadapinya dengan rasa bersyukur. Masa pensiun adalah masa yang sangat baik untuk lebih menginvestasikan perbuatan baik kepada sesama dan banyak menjalankan ibadat agama. Dengan demikian dampak PPS tidak akan terlalu dirasakan karena semua yang kita terima akan dikembalikan kepada-Nya pada saatnya. *
Gubernur NTT periode 1993 - 1998

300 Ton Rumput Laut Di Kirim Ke Luar Negeri

Laporan Novemy Leo
MAUMERE, PK-- Produksi 300 ton hasil panen rumput laut asal Kabaupten Sikka setiap bulan dikirim (ekspor) ke Amerika. Sementara hasil panen rumput laut kering setiap bulan mencapai 350-450 ton kering. Hasil panen ini diekspor ke luar negeri seperti Philipina, RRC, Singapura, Thailand dan Malaysia . Selebihnya dipasarkan secara lokal di Sikka.
Hasil panen rumput laut kering yang dikirim ke luar negeri diolah menjadi bahan dasar untuk pembuatan makanan, minuman termasuk untuk membuat bahan bakar minyak.Demikian Direktur UD Purnama, dr. Hendra Sudarmaji dan Kasubdin Sumber Hayati Keluatan dan Perikanan Kabupaten Sikka, Heribertus, saat ditemui Pos Kupang, di Maumere, Minggu (27/07/2008), terkait hasil produksi rumput laut di Sikka serta program Coremab.
Heribertus mengatakan, budidaya rumput laut di Sikka mulai dikembangkan tahun 2004. Dan hingga saat ini program Coremab sudah masuk pada 21 kecamatan di wilayah pesisir pantai utara maupun selatan Pulau Flores. "Hasil produksi rumput laut kering mencapai 350-450 ton setiap 40 hari sesuai jadwal panen. Rumput laut ini dijual Rp 10.000,00/kg sehingga total produksi sebesar Rp 3,5 miliar - Rp 4,5 miliar/empat puluh hari.
Jumlah ini cukup fantastil," tegas Heribertus.Ia menjelaskan, tahun 2007/2008, Kabupaten Sikka kembali menerima dana Coremab Rp 300 juta, yakni terdiri dari kegiatan fisik teknis Rp 270 juta, dan sisanya untuk kegitaan konsultasi. Pada thun 2008, Coremab bermitra dengan pengusaha UD Purnama-Maumere."Budidaya rumput laut dilakukan sebagai mata pencaharian alternatif warga setempat. Namun justru mata pencaharian alternatif ini mampu meningkatkan perekonomian masyarakat," jelasnya.
Darmaji menambahkan, tahun ini pihaknya mengembangkan rumput laut di wilayah selatan, di Desa Lela, Kolidetung dan di wilayah timur. Budidaya rumput laut mulai dari proses pembibitan, pengembangan sampai produksi. "Target produksi dua desa di selatan sebanyak 15 ton per 40 hari," kata DarmajiUntuk pemasaran, pengusaha rumput laut yang sudah berkiprah beberapa tahun di Sikka ini mengatakan, pangsa pasar di Philipina, China, Singapura, Thailand dan Malaysia .
Manfaat rumput laut, kata Darmaji, untuk bahan emulsi fire, yakni bahan pembuatan larutan menjadi homogen. Setelah itu, diolah di pabrik menjadi bahan dasar untuk 340 jenis bahan baik untuk bahan makanan, minuman, farmasi maupun kosmetik.
Untuk budidaya rumput laut setiap kepala keluarga mendapat 300 kg bibit yang dalam pengembangan pertama (3-4 minggu) mampu berproduksi 1.200 kg (300X4) dan untuk pengembangan II (3-4 minggu berikutnya) bisa berproduksi 4.800 kg (1.200X4). Jika satu kg rumput laut kering Rp 10 ribu maka petani bisa menerima Rp 4.800.000,00. "Mata pencahariaan alternatif ini sangat membantu perekonomian warga. Usaha ini akan dirintis pada desa pesisir pantai," tambahnya. (*)

Monday, July 07, 2008

Menanti Jalan Pembebasan

Oleh Hermin Pello, Frans Krowin, Hyeron Modo
ISRAEL, Mesir, dan NTT sama-sama gersang. Bedanya, petani kacang di Israel bisa beli mobil, di NTT tidak. Mengapa? Tanah Israel yang gersang itu bisa ditumbuhi aneka tanaman, seperti kacang-kacangan. Petaninya bekerja keras. Mereka membangun pipa- pipa air yang besar untuk mengairi tanaman pertanian. Seorang petani di sana (Israel) bisa memiliki berhektar-hektar lahan pertanian. Sebaliknya, di Mesir rakyatnya miskin karena mereka tidak mau bekerja keras.Ini kesaksian Christofel Liyanto, SE, salah satu pelaku usaha di Kota Kupang, ketika menghadiri diskusi terbatas bertajuk, "Membangun Ekonomi Lokal NTT," di Redaksi Pos Kupang, Rabu (18/6/2008). "Saya lihat penjual kacang di Israel bawa mobil. Walau gersang, tapi sejauh mata memandang ada macam-macam tanaman," tutur Christofel.Ketua Ikatan Sarjana Eknomi Indonesia (ISEI) NTT ini sengaja menceritakan tentang Israel karena kondisi wilayahnya hampir sama dengan NTT, gersang. Tetapi, mengapa masih banyak rakyat di NTT masuk kategori miskin sehingga mereka menerima bantuan langsung tunai (BLT) dan penerima beras untuk rakyat miskin (raskin)? "Ini karena motivasi dan etos kerja orang NTT masih rendah, banyak potensi sumber daya alam belum digarap optimal," katanya.Cerita Christofel sebenarnya mau mengingatkan kita bahwa kondisi NTT yang gersang bukan menjadi alasan untuk rakyatnya miskin. Keadaan bisa seperti di Israel jika kita memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi, serta didukung kebijakan pemerintah yang lebih terfokus pada pemberdayaan lahan pertanian yang ada. Ini yang harus kita pacu. Pemerintah harus serius memperhatikan etos kerja masyarakat di daerah ini. Pemerintah di tingkat propinsi harus membangun komitmen dengan pemerintah di kabupaten- kabupaten/kota di NTT untuk membuat suatu gebrakan membangun sektor pertanian dengan fokus pada satu sektor unggulan.Menurut Christofel, ISEI pernah menawarkan agenda kepada para paket calon gubernur/wakil gubernur saat mereka kampanye untuk melakukan dialog mengenai ekonomi NTT ke depan. Namun, agenda itu tidak bisa dilaksanakan karena para calon lebih tertarik membicarakan masalah di luar bidang ekonomi. Padahal, kata Christofel, sektor ekonomi menjadi salah satu tema yang sangat penting untuk didiskusikan.Terkait BLT dan pemberian raskin kepada rakyat miskin di NTT, Christofel menyarankan program pengetasan kemiskinan itu harus dievaluasi. Maksudnya, apakah gubernur/wakil gubernur baru nanti mampu meningkatkan (penerima BLT, Red) atau menghapus penerima BLT? Untuk lima tahun ke depan, mampukah gubernur/wagub mengurangi penerima BLT? Padahal siapapun yang menjadi gubernur selalu mempunyai program pengentasan kemiskinan. Gubernur NTT, Piet Tallo, mempunyai program Tiga Batu Tungku, salah satunya pengembangan ekonomi. Tetapi, kata Christofel,--bukan tidak menghargai beliau-- Pak Piet Tallo belum melakukan diskusi mengenai pemberdayaan ekonomi. "Mudah-mudahan gubernur baru nanti bisa, walaupun bukan berlatar belakang ekonomi, tapi setidak-tidaknya bidang ekonomi menempati skala prioritas utama. Bidang pendidikan dan kesehatan tentu tetap menjadi prioritas. Di bidang kesehatan kalau konsisten memberikan makanan (makanan tambahan, Red), maka anak busung lapar akan menjadi normal. Tetapi kalau dilepas, anak yang sudah normal akan menjadi busung lapar lagi," tegasnya.Pokok permasalahannya, menurut Christofel, adalah memberikan pekerjaan kepada orangtuanya. "Sopir saya anaknya empat orang, tapi tidak ada yang busung lapar karena memiliki penghasilan. Seharusnya kita konsentrasi pada masalah ekonomi. Apalagi pemerintah pusat sudah ada anggaran untuk gakin dan untuk sekolah. Pemerintah kita, dengan APBD yang ada, fokuskan pada masalah ekonomi, bukan dengan program macam-macam. Saya kasih contoh, di depan kantor gubernur, ada lahan kosong, orang menanam sayur-sayuran. Saya pikir, salah satu cara untuk meningkatkan pendapatan mereka adalah beri mereka mesin pompa air sehingga mereka tidak susah-susah angkat air," kata Christofel.
Perlu POAC
Direktur Kepatutan dan Manajemen Risiko Bank NTT, Helena Beatrix Parera, mengatakan, yang perlu dibangun adalah orang-orang yang bisa memotivasi, memberi masukan sehingga ada gunanya untuk memberikan masukan bagi pemerintah yang baru. Jadi, untuk mengembangkan potensi unggulan NTT harus ada konsep yang global, yaitu konsep tentang bagimana menggerakkan dan membangun ekonomi lokal. Tetapi ada beberapa hal yang kurang diamati, yakni mengevaluasi secara berkesinambungan, mengontrol dan menghimpun data.Menurut Helena, pola untuk membangun ekonomi itu sangat sederhana dan sudah ada. Hal sederhana yang diperlukan untuk membangun ekonomi adalah planing, organizing, actuality dan control (POAC). Pola POAC ini, katanya, kalau dilakukan secara berkesinambungan, terkontrol, terorganisir, secara tuntas dan detail, bisa menghasilkan sesuatu sesuai rencana.Di dalam perencanaan (planing), pemerintah membutuhkan data dan sekarang saja kita lihat, data dari BKKBN dan data sensus tentang orang miskin, berbeda. Solusinya, pemerintah harus memfasilitasi sebuah lembaga independen, menggandeng biro ekonomi, tapi kerjanya independen untuk menjadi mitra kerja, misalnya, LSM yang punya kapasitas untuk membangun ekonomi. Jadi, ada lembaga atau badan yang pemerintah manfaatkan sebagai pusat data atau yang menghimpun dana sehingga dia bisa membuat suatu perencanaan untuk satu masa jabatan dengan data yang akurat. Ada data tapi tidak tersentralisasi, ada data tapi sepotong-sepotong. Setelah mengumpulkan data, bisa buat perencanaan anggaran untuk satu tahun. Terkait organisasi, kata Helena, pemerintah perlu membentuk semacam badan yang bekerja independen untuk mengkaji data. Pemetaan data yang sudah terjadi mengenai halangan atau faktor penyebab kegagalan. Contohnya, bantuan BUMN yang dulu misalnya Pertamina sebelum kampanye, bantuan kecil yang diserahkan lewat kami (Bank NTT) cukup banyak. Tapi masyarakat berpikir bahwa itu dana kampanye, jadi biar saja. Jadi, faktor kegagalan itu harus dipetakan desa per desa karena setiap desa berbeda-beda masalahnya. Setelah itu dicari solusinya? Di sini pemerintah perlu kerja sama dengan banyak pihak.Menurut Helena, falsafah untuk mengentaskan kemiskinan adalah ikan dan kail. Ikan itu untuk membantu orang miskin pada saat insidentil, misalnya saat terjadi bencana. BLT itu ikan, membantu orang miskin pada saat bencana atau pada saat BBM naik, ada raskin. Tapi itu tidak boleh berkesinambungan karena ikan tidak boleh terus menjadi ikan, tapi harus meningkat menjadi kail. Dan, setelah itu dikasih perahu. Itu bagus, kalau diterapkan di sini tetapi bagaimana equity, itu harus banyak komponen, ada pihak lain misalnya swasta. "Orang NTT yang pintar banyak, hanya perlu satu pola yang terpadu untuk bisa rangkul mereka. Inisiatif itu harus dari pemerintah dan DPRD," ujarnya.Alauddin Kamaluddin, pelaku usaha kecil menengah di Kota Kupang mengatakan, BLT yang dikucurkan pemerintah kurang mendidik. Karena yang datang ambil BLT pakai celana jeans, punya hand phone (HP) kamera dan pakai sepeda motor. Pertanyaannya, apakah orang itu tergolong orang miskin?
Harus Ada Pembebasan
Pengamat ekonomi dari Undana Kupang, Dr. Fred Benu, mengatakan, forum diskusi ini tidak menghasilkan barang baru bagi masyarakat khususnya bagi pemerintah. Kita sadar itu. Sadar, ada semacam gap antara kesadaran berpikir dengan realitas perilaku pengambil kebijakan. Pemerintah bukan tidak pahami ini, apa yang harus dilakukan? Ini berarti , kata Fred, fokus permasalahan bukan hanya soal pencerahan. Pencerahan sudah dilakukan di banyak forum diskusi seperti ini. Fokus tidak boleh berhenti pada pencerahan, tapi harus ada pembebasan, bahkan pertobatan. Tidak bisa mengharapkan dari entitas individu. Pencerahan seperti ini tidak hanya sekadar menghasilkan suatu pemikiran yang konstruktif, yang hanya disampaikan pada publik, dan kita hanya mendapat pencerahan, tanpa ada pembebasan. Menurut Fred, ini berarti ada tuntutan lebih bagi kita semua, bahwa pencerahan saja tidak cukup, sudah terlalu banyak yang ditulis Pos Kupang, Tidak cukup cerah kan kita. Pencerahan saja tidak cukup karena ada gap. Karena itu, harus ada pembebasan, Nah, bagaimana pembebasan ini. "Kita main pada konstruksi yang lebih lanjut, daripada hanya sekadar pencerahan. Saya melihat ini hanya main pada mikro, bagaimana di tingkat makro. Bukankah kita semua sudah paham dan pemerintah juga sudah paham apa sebenarnya sektor yang bisa diandalkan untuk mendorong kinerja perekonomian daerah ini?" katanya. Itu berarti, demikian Fred, harus ada sektor tertentu yang menjadi perhatian utama pemerintah. Maksudnya, membangun bidang pertanian misalnya, pemerintah harus fokus pada satu komoditi unggulan yang punya prospek ke depan. Bahwa kalau orang ini berpikir begini berarti harus ada suatu kebijakan terobosan khusus pada sektor itu sehingga mendorong dia untuk berkembang, bukan sekadar tahu, tapi bagaimana dia berbuat. Kalau pada tingkat makro NTT misalnya, saya sering katakan, selalu terjadi semacam paradoks. Kalau kita mau mendorong perekonomian daerah yang masih mengharapkan pada sektor primer, tidak bisa hanya pada tingkat hulu saja, harus terus sampai ke hilir. Kalau hanya urus ternak, kapanpun kita tidak akan maju. Kalau urus ternak hanya urus dagingnya saja, produksinya saja, tidak bisa. Tapi harus ada lanjutannya, apa di hilirnya. Itu baru bisa. "Saya sering katakan dalam forum diskusi bahwa perekonomian di NTT potensinya besar. Ibarat sebuah mobil, kapasitas enginenya cukup besar, yaitu di sektor primer misalnya ternak, perikanan, pertanian dan lainnya. Cuma susahnya, pemerintah sebagai driver tidak injak ekselelator untuk memaksa engine ini lari cepat, dia turun dan dia dorong saja. Kapan baru bisa terjadi akselerasi perekonomian, tidak ada," ceritanya.Kalau pemerintah sadar, katanya, sektor primer di pertanian, misalnya, peternakan masuk pertanian, itu yang digagas, itu yang dipacu. Kita pencet akselerasi biar lari, seperti yang Pak Alauddin katakan, akselerasinya kulit-kulit sapi, tidak perlu dibawa tapi poles dia,. Bangun industri, itu kan tipe agroindustri. Bukan industri skala besar, bukan pabrik semen. Bukan berarti kita anti industri besar, tapi ada satu sektor khusus yang menampung sebagian besar pelaku ekonomi rakyat di daerah ini. Kita tahu, basis ekonomi kita masih pada sektor pertanian, tapi yang saya katakan, driver-nya turun dan dorong karena akselelator primer itu bukan sektor pertanian. Menurutnya, sektor primer NTT adalah pertanian, tapi pertumbuhannnya berkisar dua persen hingga empat persen per tahun. Sedangkan sektor sekunder tumbuh antara empat persen sampail lima persen per tahun, dan sektor jasa bertumbuh antara tujuh persen sampai 10 persen. Namun, jasa di sini lebih didominasi oleh jasa pemerintahan.Fred mengatakan, dari data yang ada, basis ekonomi primer NTT di sektor pertanian sudah mencapai hasil pertumbuhan yang tidak bisa diharapkan lagi untuk mendongkrak peningkatan kesejahteraan rakyat dan pendapatan daerah. Ini karena banyak orang yang bermain di sektor tersebut, khususnya dalam kepemilikan lahan. Khusus ekonomi berbasis lahan, menurut Fred, produktivitas per kapita sudah turun. Kalau dulu kontribusi sektor ekonomi berbasis lahan (pertanian) mencapai 60 persen terhadap totalitas ekonomi regional NTT, tetapi sekarang hanya sekitar 41 persen sampai 42 persen. Kontribusi sudah di take over atau diambil alih oleh sektor lainnya karena itu harus dibuat rasionalisasi. Solusinya, kata Fred, menarik sebagian tekanan dari ekonomi berbasis lahan sehingga pertumbuhannya kembali dari tumbuh dengan kecepatan menurun menjadi tumbuh dengan kecepatan meningkat. "Saya percaya dan sudah sering ditulis, pemerintah tahu itu, tapi kita harus bahas bersama lagi. Bukan soal pencerahan lagi, tapi harus ada pembebasan pada tingkat pemerintahan. Bagaimana suatu soal benar-benar pemerintah paham, lalu bagaimana implementasinya, benar-benar terjadi atau tidak. Basis primer lain, kebijakan implementasi pemerintah lain, kita mau bergerak bagaimana. Bagaimana menjadi ikan besar kalau tidak ada back- up dari pemerintah? Jadi, untuk menggerakkan ekonomi rakyat NTT harus ada pembebasan di tingkat pemerintahan," tegas Fred. Kita menanti jalan pembebasan dari pemimpin baru NTT