Tuesday, October 24, 2006

Poskup 211006

Masa jeruk minum jeruk?
(Refleksi untuk para aktivis)
Oleh Lenny Hidayat

EVALUASI terhadap dua tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla yang mendapatkan rapor merah dalam area prioritas pengurangan kemiskinan, pengangguran, pendidikan dan kesehatan, penciptaan lapangan kerja, perlindungan pekerja migran, serta kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan (Kompas, ‘Pemerintah Belum Memenuhi Janjinya’, 18 Oktober 2006) menguak sebuah kenyataan yang memang tidak menggembirakan. Namun perlu disadari, bahwa perjuangan mengentaskan semua permasalahan tidak hanya berasal dari pemerintah, tetapi dari lembaga non-pemerintah, donor dan yang terpenting, setiap individu bangsa Indonesia.
Propinsi Nusa Tenggara Timur juga menjadi sorotan dalam pengentasan kemiskinan, kesehatan, dan kesetaraan peran perempuan. Sudah banyak lembaga non-pemerintah yang berdiri guna membantu proses perbaikan sektor-sektor krusial tadi. Tidak ketinggalan peran dari donor internasional yang berusaha membantu percepatan proses tersebut. Namun, keberhasilan program-program bantuan masih jauh dari harapan bahkan perlu perbaikan.
Refleksi terhadap pendekatan, strategi dan program lembaga non-pemerintah pun yang sudah mendaulat sebagai katalisator pembangunan dan pemantauan kinerja pemerintah, perlu dilakukan segera. Bahkan, evaluasi dan monitoring tersebut harus kita bawa masuk ke dalam institusi dan diri kita sebagai ‘pejuang’ kemanusiaan, pembangunan, kaum perempuan dan anak, pendidikan, kesehatan, sosial, anti korupsi, reformasi hukum, desentralisasi dan sebagainya.
Karena itu, perlu diambil tindakan yang seksama dan tindakan nyata terhadap segala permasalahan yang ada sesuai dengan bidangnya masing-masing. Di dalam setiap program perbaikan bangsa perlu diperhatikan langkah-langkah strategis sebagai hasil pembelajaran kita bersama.
Ubah paradigma orientasi
Sudah tak terhitung banyaknya program pembangunan dan kemanusiaan yang terus bergulir selama beberapa dekade. Dulu, mungkin keberadaan lembaga swadaya masyarakat kurang dikenal dan tidak diakui sebagai sebuah æprofesiö namun sekarang bisa kita lihat banyaknya iklan pekerjaan ataupun iklan layanan masyarakat yang berasal dari inisiatif lembaga non-pemerintah. Hal ini menjadi indikator perkembangan lembaga non-pemerintahùdengan bantuan lembaga donor internasionalùyang semakin menjamur. Namun, yang perlu diwaspadai adalah pergeseran dari perjuangan untuk rakyat menjadi perjuangan untuk proyek ataupun untuk donor. Donor dan proyek adalah saluran kita untuk menyentuh masyarakatbawah yang membutuhkan. Seharusnya tidak ada satu pun bantuan yang bisa membeli semangat perjuangan kita untuk berbuat lebih demi rakyat Indonesia. Prinsip ini tentunya berlaku bagi pemerintah, non-pemerintah, donor, dan rakyat Indonesia untuk menghindari dikesampingkannya kepentingan rakyat demi uang.
Perkuat monitoring dan evaluasi
Istilah Monev (Monitoring dan Evaluasi) telah menjadi salah satu istilah yang dikenal di kalangan aktivis dan lembaga non-pemerintah. Sayangnya, metode Monev tidak memiliki standar baku dan strategis dalam pengimplementasiannya. Setiap lembaga non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat lokal, asing, dan internasional memiliki cara-cara masing-masing guna memonitor program yang dijalankan atau hibah yang diberikan kepada penerima hibahùbiasanya LSM lokal.
Adapun cara yang bisa kita pertimbangkan adalah pembuatan alat ukur baik kuantitatif maupun kualitatif disertai dengan monitor kelembagaan dan lapangan yang intensif. Misalnya, dengan melakukan monitoring berkala, membuat jaringan pemantau, melakukan monitoring feedback respons yaitu selama hasil pemantauan belum memuaskan, program bisa ditunda atau penundaan pencairan dana, mengalokasikan dari awal anggaran khusus untuk monitoring, atau dengan penyesuaian jangka waktu program dan tujuan menjadi serealistis mungkin namun efektif dan efisien. Begitu pula dengan lembaga donor, untuk lebih memerhatikan volume proyek yang dikerjakan sehingga monitoring bisa terbagi rata ke semua proyek. Jangan menjadi tukang mikrolet yang cenderung mengejar setoran, dengan tergesa-gesa sehingga tidak ada pengawasan yang memadai. Antisipasi ini harus diambil guna mencegah penyelewengan dan juga penyalahgunaan dana hibah yang didapat dari keringat setiap pembayar pajak baik dalam negeri maupun luar negeri. Pemerintah juga harus lebih terbuka dan responsif terhadap program-program reformasi dengan menunjukkan kesungguhan dan tindakan nyata bukan sebatas kebijakan dan citra baik di mata publik tetapi ada yang benar-benar bisa diberikan sebagai pelayanan publik kepada rakyat.
Sederhanakan bahasa
Banyak program penyadaran publik yang menjadi sia-sia karena penggunaan bahasa para birokrat dan aktivis sekarang menjadi setinggi langit dan bintang. Penggunaan jargon dan istilah-istilah asing menjadi begitu marak di kalangan aktivis, seolah-olah menjadi ajang pamer pengetahuan istilah yang sebenarnya telah menjadi bumerang dalam pergerakan untuk mengubah perilaku masyarakat. Masyarakat memerlukan program penyadaran yang membumi, dengan saluran yang membumi, dan bahasa yang membumi. Bukan dengan penayangan iklan layanan masyarakat yang salah tempat, salah konteks, dan salah pesan. Hal-hal seperti ini harus kita perhatikan demi perkembangan program penyadaran publik yang lebih efektif dan efisien. Penggunaan bahasa dan istilah harus lebih disesuaikan dengan konteks dan sasaran.
Sinergi antar pemangku kepentingan
Sudah merupakan rahasia umum, jika ada pengumuman tentang kinerja pemerintah atau kritisi aktivis terhadap kebijakan pemerintah. Pemerintah cenderung mundur ataupun bersikap apatis. Hal ini keliru. Seharusnya dilihat sebagai sebuah masukan yang konstruktif dan strategis untuk ruang perbaikan. Begitu pula dengan aktivis, jika ada ketimpangan ataupun pelanggaran, maka seharusnya kita tetap berjuang untuk memperbaikinya bukan malah berseberangan dengan pemerintah. Perubahan hanya bisa dilakukan bersama, tidak sendirian. Pemikiran yang memisahkan cenderung kuno, sempit, dan tidak laku di pasaran alias jadul (jaman dulu).
Akan menjadi ironi jika kita menyebut diri kita sebagai aktivis jika kita berkhianat dari jiwa perjuangan yang kita usung yaitu kebenaran. Akan terasa lucu jika kita mengkritisi orang lain tidak profesional dan tidak menghasilkan program dengan kualitas bagus, padahal yang kita pikirkan hanyalah sebatas nilai proyek yang didapat. Akan lebih lucu lagi, jika kita ingin menghapus korupsi tetapi ternyata diri kita sendiri adalah koruptor. Yang paling tidak lucu adalah pada saat kita menyatakan diri kita sebagai pekerja kemanusiaan tetapi yang terjadi di lapangan adalah penindasan dan pemerkosaan terhadap korban terutama kaum perempuan, anak dan kelompok marginal.
Perubahan paradigma akan semua lini harus diubah menjadi berorientasi kepada rakyat. Karena misalnya saja jika para ‘pejuang’ anti korupsi saja jadi koruptor maka istilah yang digunakan Joshua sangat relevan di sini. Masa jeruk minum jeruk? Benar-benar memalukan!
Penulis adalah Asisten Pelaporan Proyek Unit Monitoring dan
Evaluasi Partnership for Governance Reform
Alumni Komunikasi Massa
FISIP UI

Tuesday, October 17, 2006

Poskup 171006

Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus
Oleh Pieter da Santo

UNTUK Kota Kupang, salah satu kegiatan kampus yang sudah menjadi sangat biasa ialah wisuda sarjana. Tidak terlalu mengherankan karena Kota Kupang memiliki lebih dari 30-an perguruan tinggi. Setiap tahunnya Kota Kupang mencetak tidak kurang dari 2.000-an sarjana-sarjana baru. Memang, produk Kota Kupang untuk bidang yang satu ini yaitu sumber daya manusia adalah luar biasa! Belum dihitung yang di Flores, Sumba, daratan Timor di luar Kupang. Belum lagi yang menyelesaikan studinya di luar NTT.
Dalam setiap acara wisuda ada sebuah lagu, yang mau tidak mau harus dilantun-nyanyikan dengan penuh semangat. Lagu tersebut sudah menjadi semacam "lagu kampus" : Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus (baca : Gaudeamus ijitur, yuvenes dum sumus). Bahwa apakah para wisudawan dan wisudawati atau anggota koor yang menyanyikan lagu tersebut sekaligus dirigennya maupun hadirin yang mengikuti acara wisuda tersebut mengetahui juga arti kata-kata itu dalam bahasa Indonesia, itu soal lain lagi.
Sejarah etnis sebuah bangsa
Membaca buku Mosaik Amerika - Thomas Sowell, 1981 terjemahan Nin Bakdisoemanto, Pustaka Sinar Harapan, 1989 setebal 452 halaman itu, membuat kita tercengang-cengang. Sampai menjadi sebagai bangsa Amerika yang sangat terkenal sekarang ini, bangsa yang sangat hebat luar-dalamnya, bangsa yang sangat tegar dan yang sangat percaya akan kemampuan dirinya, bangsa yang tinggi pula rasa harga dirinya merupakan sebuah cerita perjalanan sejarah yang sangat panjang.
Kedatangan begitu banyak kelompok etnis dari seluruh dunia pada awal abad ke-19 sampai tiga dasawarsa pertama abad ke-20 yang kemudian secara bersama-sama membentuk "Amerika" sekarang ini, memang harus diacungkan jempol.
Imigrasi awal orang Jerman ke Amerika adalah orang-orang Jerman yang tinggal di Belanda yang lantas mendiami New Amsterdam, yang kelak menjadi New York sekarang ini. Orang Jerman adalah kelompok terbesar yang berimigrasi ke Amerika dan mereka telah memainkan peranan penting dalam sejarah Amerika. Mereka membangun industri, pertambangan, pendidikan, pertahanan militer, juga makanan dan pola rekreasi Amerika. Jembatan-jembatan gantung, besi, baja, mobil, piano, mesin las, coklat batangan, merek-merek bir terkenal adalah hasil-hasil produksi yang dirintis oleh orang Amerika keturunan Jerman. Tradisimiliter Jerman memberi Amerika "masuk hitungan" dalam sejarah dunia. Bahkan jenderal-jenderal yang memimpin pasukan Amerika melawan Jerman untuk memenangkan Perang Dunia I dan Perang Dunia II, yaitu Pershing dan Eisenhower adalah keturunan Jerman.
Orang Yahudi yang datang ke Amerika secara besar-besaran terjadi pada dasawarsa terakhir abad ke-19 dan dua dasawarsa pertama abad ke-20. Mereka bukan keluar dari Israel tetapi dari banyak negara di Eropa terutama dari Jerman, Rusia dan Eropa Timur lainnya. Orang tidak pernah tahu bahwa Perdana Menteri Israel, Golda Meir lahir di Milwaukee, Amerika Serikat.
Belum lagi cerita panjang mengenai orang-orang Irlandia, Scotlandia, Italia, Perancis, Belanda, Polandia dan negara-negara Eropa lainnya, juga Cina dan Jepang, Meksiko maupun Puerto Rico dan terlebih lagi orang kulit hitam, Afrika. Orang juga tidak pernah menyangka bahwa selama lebih dari satu abad, Liberia, sebuah negara di pantai barat Afrika diperintah oleh keturunan budak Negro Amerika yang dibebaskan. Orang juga sudah lupa bahwa presiden pertama Irlandia, Eamon de Valera, lahir di Brooklyn, New York.
Semua mereka, pendatang-pendatang baru itu bersatu-padu "menantang" Amerika, suatu tanah yang penuh janji bagi kehidupan yang lebih baik daripada di tanah airnya sendiri sekaligus tanah yang penuh tantangan dan marabahaya. Selain berhadapan dengan penduduk asli kulit merah, Indian maka tantangan yang paling berat yaitu keadaan alam Amerika sendiri. Padang rumput yang maha luas, Llano Estacado terbentang hampir seluas dua-pertiga benua Eropa harus ditaklukan. Belum lagi sungai-sungai besarnya, Mississippi, Ohio, Missouri, Tennessee, Rio Grande del Norte. Pegunungan Rocky dan Sierre Nevada, juga danau-danau besar Superior, Michigan, Eire dan Ontario - semuanya ini, bagaimanapun beratnya harus juga ditaklukan.
Mereka, perintis-perintis Amerika itu dengan bersukaria dan bersemangat baja bukan saja hanya yang tua-tua tetapi terutama yang muda-muda mulai membanting-tulang dengan semangat membaja yang berkobar-kobar, membuka dan terus membuka daerah-daerah baru untuk lahan pertanian dan peternakan sementara di pantai-pantai timur Amerika perdagangan berjalan sangat lancar. Kerja keras itu akhirnya mewujudkan Amerika sekarang ini, Amerika yang sangat perkasa. Mereka tidak pernah mengenal lelah, tidak mau hidup santai tetapi berjuang dan terus berjuang. Generasi yang satu hilang, muncul generasi berikutnya, pante-rei, terus mengalir, patah tumbuh hilang berganti dan begitu seterusnya.
Bagaimana dengan kita?
Berkat kemampuan dan kerja kerasnya, Amerika hampir setengah abad yang lalu mulai menaklukkan ruang angkasa yang maha luas itu. Badan Ruang AngkasaAmerika yang super canggih yang kerjanya hanya mau "mengobrak-abrik isi perut susunan tata-surya" kita bernama : NASA (National Aeronautics Space Administration). Di sana duduklah orang-orang pandai dan pintar-pintar, mereka menghitung dan terus menghitung, meneliti dan terus meneliti, percobaan dan percobaan. Mereka pekerja-pekerja keras yang tidak pernah mengenal kata menyerah.
Lalu, apakah hubungan dengan Indonesia, khususnya kita di NTT dengan semua cerita ini? Bagi kita, tidak usah berpikir Indonesialah karena nanti terlalu luas. Tetapi mari kita coba berpikir tentang NTT saja. Dua riburan sarjana yang dicetak di NTT setiap tahun bukan suatu angka kecil. Dalam lima tahun NTT telah memiliki belasan ribu sarjana dari semua tingkat disiplin ilmu. Dan apa yang sudah dibuat oleh para alumni tersebut dengan disiplin ilmunya masing-masing untuk NTT tercinta?
Cerita tentang kerja keras bangsa Amerika di atas hanyalah sebuah contoh saja. Selagi kita masih muda dan kuat, janganlah kita berpang-ku-tangan, bermalas-malasan. Buang jauh-jauh filsafah hidup HG (harap gampang), tetapi marilah kita dengan bersemangat dan bersuka-ria mulai membangun, paling tidak membangun diri sendiri agar menjadi orang yang berguna untuk NTT.
Gaudeamus igitur, iuvenes dum sumus-- Marilah bersukaria, bersukaria selagi kita masih mudah. Itulah nyanyian yang terdengar pada saat kita diwisuda dan yang seharusnya terus bergema dalam relung hati kita sebagai isyarat untuk tetap bersemangat, membanting-tulang dan mau berkeringat membangun NTT betapa pun besarnya halangan dan tantangan yang ada di depan kita.
Kalau Amerika ada NASA-nya yang begitu luar biasa dan yang sangat mengagumkan itu, maka di Indonesia kebanyakan kita hanya mengenal NAZA - (Narkotika, Alkohol dan Zat Adiktif). Kita semua tahu apa arti kata-kata ini, barang-barang yang sangat-sangat berbahaya, baik bagi diri kita sendiri terutama bagi masa depan kita. Penyalahgunaan dan ketergantungan terhadap NAZA di Indonesia sudah pada tingkat yang mengkhawatirkan (H Dadang Hawari, 2001).
Oleh karena itu, selagi kita masih muda dan kuat janganlah kita bergaul dan berteman terus dengan yang namanya ganja, morfin, heroin, putaw, kokain, ekstasi, shabu-shabu dan zat-zat adiktif lainnya dan terutama di Kota Kupang. Karena semuanya itu hanya akan merusak dan membinasakan diri sendiri. Semuanya itu hanya akan merusak kepribadian kita, menimbulkan kecemasan-kecemasan dan depresi.
Bersuka-rialah dengan bekerja keras, menantang badai dan halangan untuk hari esok yang lebih baik. Ilmu sudah punya, masih kuat dan muda pula, lalu apanya yang kurang? Tidak ada orang yang akan menolong kita selain diri kita sendiri. Begitu sulitnya menjadi PNS sekarang ini sehingga yakinkan diri sendiri bahwa "cari makan" bukan hanya menjadi PNS saja tetapi di luar itu masih banyak yangmenjanjikan bahkan kehidupan akan jauh lebih baik daripada menjadi PNS (yang tidak korupsi lhooo).
Kalau ini sudah menjadi tekad kita maka "kejayaan" NTT yang dibangun oleh anak kandungnya sendiri pasti akan terwujud. Ingat, generasi kita mendatang memiliki hak untuk memperoleh keadaan NTT yang jauh lebih baik dari sekarang.

Penulis, staf pengajar FH Undana Kupang