Tuesday, April 25, 2006

Poskup 220406

Selamat datang Uskup Maumere (2)
Dekat, tapi bukan politis
DALAM sejarahnya, jabatan uskup tak jarang menjadi sangat dekat dengan jabatan politis. Pada abad pertengahan, misalnya, terjadi kolusi yang erat antara banyak uskup dengan para raja dan pejabat politik lainnya. Tidak jarang, kolusi seperti ini terjadi di atas punggung para umat beriman yang menderita dan tersingkirkan.
Karena itulah, Konsili Vatikan II (rapat umum para uskup se-dunia) kembali menegaskan inti tugas dari uskup. Konsili Vatikan menekankan peran pastoral dari jabatan uskup dengan menguraikan kembali tiga tugas Kristus yang mesti dijalankan para uskup. Sejalan dengan tugas Kristus (pemberi wewenang) sebagai imam, nabi dan raja, demikian pun seorang uskup dalam jabatannya menjalankan tugas sebagai imam dalam ibadat, guru dalam mengajar dan pelayan dalam kepemimpinannya (kegembalaannya).
Dalam tugas mengajar (munus docendi), uskup mewartakan injil. Inilah tugas paling luhur seorang uskup. Melaluinya ia mengajarkan jalan yang diwahyukan Allah kepada umat untuk memperoleh keselamatan. Ia memanggil umat beriman dan meneguhkan iman mereka melalui pengajaran tentang hal ihwal kehidupan kristiani dalam segala aspeknya. Tanpa merelativisasi ajaran iman seorang uskup tetap selalu memperhatikan cara penyajian yang up to date agar sungguh menyapa umat dalam situasinya.
Berkaitan dengan tugas menguduskan (munus sanctificandi), seorang uskup sesungguhnya diangkat untuk melayani hal-hal yang berkaitan dengan bakti kepada Allah, persembahan dan korban penyilih dosa. Uskup dikaruniai kepenuhan sakramen tahbisan (tahbisan tertinggi). Karenanya, baik para imam maupun diakon dalam menjalankan kuasa mereka sangat bergantung pada uskupnya. Seorang imam atau diakon hanya dapat melaksanakan tugas pelayanan sakramentalnya secara sah di dalam Gereja Katolik apabila dia mendapat yurisdiksi dari uskup. Uskup berkewajiban membimbing, mengarahkan dan memajukan kekudusan imam dan umatnya serta membawa mereka pada persatuan dengan Kristus.
Dalam kaitan dengan tugas penggembalaan (munus regiminis), seorang uskup hendaknya selalu tinggal di tengah umat sebagai pelayan yang setia, gembala yang baik, dan bapa yang penuh cinta. Dalam tugas kegembalaan ini seorang uskup bekerja sama dengan imam sebagai rekan sekerja dalam karya kerasulannya.
Meskipun ada yang berkarya dalam bidang pelayanan kategorial, umumnya seorang uskup bertugas pada suatu wilayah gereja partikular atau keuskupan (dioses). Uskup kategorial misalnya Duta Vatikan (Nuntius), yang biasanya ditahbiskan sebagai uskup. Kendati menjalankan tugas kategorial tanpa hubunganlangsung dengan jemaat tertentu, namun masih tetap ada jejak keberlekatan jabatan ini pada jemaat. Sebab itu, seorang uskup kategorial selalu ditahbiskan sebagai uskup tituler untuk sebuah keuskupan yang pernah ada namun kini sudah tidak ada lagi.
Istilah dioses itu sendiri muncul pada zaman keemasan kekaiseran Romawi. Dioses berarti daerah administratif (dari bahasa Yunani dioikesis). Gereja kemudian mengambil alih istilah ini dan menggunakannya dalam arti keuskupan, wilayah ‘kekuasaan’ seorang uskup. Ada uskup yang memegang peranan koordinasi dan pengawasan atas wilayah yang lebih luas dari keuskupannya (provinsi gerejawi). Maka dikenallah istilah uskup metropolit atau lazim disebut uskup agung. Sedangkan uskup yang lain disebut uskup sufragan.
Dalam menjalankan tugasnya, uskup tidak sendirian. Secara ke dalam, uskup dibantu oleh rekan kerjanya yang diserahi tugas berdasarkan hukum ilahi (imam dan diakon) atau berdasarkan hukum gerejani (uskup pembantu, Vikjen, Vikep dan deken, kuria dan panitia keuskupan). Secara keluar, ia menjalin kolegialitas (kerekanan) dengan sesama anggota dewan para uskup yang dikepalai oleh paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik Roma, atau gereja sejagat.
Bagaimana uskup dipilih?
Pemilihan uskup jauh dari alur-alur demokratis seperti halnya pemilihan eksekutif, legislatif dan kepala daerah di tanah air kita. Umat Allah sebagai anggota gereja tidak mengambil bagian secara langsung dalam proses pemilihan seorang uskup. Namun proses pemilihan seperti itu tetap benar pada dirinya sendiri. Siapa sebenarnya yang memilih dan menentukan seseorang untuk jabatan uskup? Siapa-siapa saja yang dikatakan layak untuk jabatan itu?
Dalam gereja terdapat kelompok (biara, kapitel atau dewan) yang berhak memilih orang dengan kualitas tertentu untuk memangku suatu jabatan, misalnya superior, abas dan uskup. Menurut Hukum Kanonik, pemilihan diselenggarakan oleh orang yang berhak menurut hukum. Hak ini dilaksanakan dalam kaitannya dengan dua hal berikut. Pertama, hak untuk memilih orang-orang yang dianggap layak untuk mengisi jabatan gerejani yang lowong tanpa pengesahan dari kekuasaan yang lebih tinggi. Misalnya pemilihan Paus oleh Dewan Kardinal. Kedua, memilih calon bagi jabatan tertentu yang perlu mendapat pengukuhan dari kuasa yang berwewenang. Misalnya, pemilihan uskup oleh dewan katedral di beberapa negara yang mempunyai hak khusus.
Uskup diangkat secara bebas oleh Paus tanpa campur tangan siapa pun. Kendatipun hal ini dapat terkesan sewenang-wenang, namun memperhatikan sejarah gereja, maka sebenarnya fakta ini merupakan suatu perkembangan positif yang mulai tampak pada abad 14. Pada waktu-waktu sebelumnya pemilihan uskup sebagai pejabat gereja sering tidak luput dari campur tangan penguasa-penguasa publik seperti raja. Mereka turut terlibat dalam memilih dan menentukan orang-orang yang layak untuk jabatan uskup.
Dewasa ini, meskipun Paus mengangkat dan menentukan orang-orang yang layak secara bebas, ia juga tetap memperhatikan suara-suara dari pemimpin gereja partikular ataupun konferensi waligereja tertentu. Para pemimpin gereja partikular dalam diri dewan imam mengajukan para calon uskup kepada Paus melalui duta Vatikan. Duta Vatikan selanjutnya meminta pertimbangan dari berbagai pihak yang dipandang mengenal calon, termasuk awam dan presidium waligereja.
Dalam hal ini para Duta Vatikan memegang peranan penting. Mereka meneliti satu demi satu calon-calon yang disebutkan dalam daftar sambil terus memperhatikan saran-saran uskup agung atau sufragan dari provinsi yang membutuhkan uskup tersebut. Selain itu mereka juga tidak boleh mengabaikan pendapat dari dewan penasehat keuskupan, dewan imam, klerus sekulir dan religius serta pendapat kaum awam yang ungggul dan dianggap cukup bijaksana. Pendapat-pendapat ini diambil satu demi satu secara rahasia. Hasil penyelidikan itu dikirim ke takhta apostolik untuk dijadikan bahan pertimbangan. Berkaitan dengan hal ini keuskupan Basel (Swiss) mendapat pengecualian. Di Keuskupan Basel dewan katedral langsung memilih seorang uskup yang diakui Paus di antara tiga orang calon, asalkan saja tidak ada halangan kanonik.
Siapa yang sebenarnya layak untuk jabatan uskup? Kanon 378 art. 1 menyebutkan syarat-syarat bagi seorang calon uskup sebagai berikut: seorang calon uskup adalah seorang imam yang unggul dalam iman, hidup baik, saleh, punya semangat merasul, bijaksana, arif dan sifat-sifat lainnya yang membuatnya layak untuk jabatan tersebut. Ia juga harus mempunyai nama baik. Sekurang-kurangnya berusia tiga puluh lima tahun dan sekurang-kurangnya sudah lima tahun ditahbiskan imam. Selain itu, mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam Kitab Suci, Teologi atau hukum kanonik yang diperolehnya pada lembaga pendidikan lanjut yang disahkan takhta apostolik, atau sekurang-kurangnya mahir sungguh-sungguh dalam mata kuliah-mata kuliah itu. (tony kleden-kmkl/bersambung)

No comments: